Apabila tatanan keadilan yang seharusnya menaungi pola hubungan guru-siswa telah layu dan kering, lantas digantikan oleh pola hubungan yang linier, kaku, tanpa ruh – akibat selanjutnya adalah pupusnya karakter keber-adab-an. Guru hilang wibawa. Siswa atau orangtua memandang guru tak lebih sebagai pekerja di sekolah yang sewaktu-waktu bisa dipolisikan.
***
Saya memiliki banyak teman guru, mulai dari yang tingkat disiplin profesionalismenya menandingi menteri pendidikan sampai guru yang tidak tersentuh oleh profesionalisme modern. Yang terakhir ini adalah para sahabat saya yang mengabdikan dirinya di dusun paling selatan kabupaten Malang.
Penampilan mereka, maaf, mohon tidak disandingkan dengan guru-guru kota. Para sahabat saya ini adalah guru yang tukang mencari rumput. Guru yang peternak ayam. Guru yang petani. Guru yang nelayan. Kekaguman pada mereka mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa mereka bukan hanya guru. Mereka adalah manusia.
Manusia yang di tengah kerja keras menghidupi anak istri, berkenan untuk meluangkan sebagian besar waktu untuk mendidik anak-anak dusun. Profesionalisme seorang guru tenggelam dan menjadi tidak lagi dominan di tengah sikap mereka yang ngajeni, laden, dan ngeladeni proses belajar anak-anak dusun. Di sekolah itu saya tidak lagi bertemu dengan guru dan siswa. Saya bertemu dengan manusia dan diperlakukan sebagai sesama manusia.
Selain kurikulum formal yang diterapkan di setiap sekolah, tampaknya diperlukan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang menekankan praktek bersikap adil dan beradab. Siapa yang menjalankan kurikulum tersembunyi itu? Semua warga sekolah. Saya pikir selain sekolah berinvestasi untuk melejitkan prestasi siswa atau membangun image sebagai sekolah hebat, mengapa karakter luhur dan adab budaya khas sekolah malah terabaikan? []
Jagalan 120616
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H