Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah yang Adil dan Beradab

12 Juni 2016   22:13 Diperbarui: 12 Juni 2016   22:25 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Anak-Anak Indonesia | Sumber: wartakota.tribunnews.com

Obrolan kami malam itu berakhir pukul 01.10 dini hari. Sebelum pamit pulang teman saya sempat-sempatnya menitipkan pekerjaan rumah. “Seberapa beradabkah sekolah yang ada di negeri ini?” Ia bertanya setelah menuntaskan kopi terakhirnya.

Saya hanya nyengir. Tidak ambil pusing. Tapi, pertanyaan itu terngiang terus sepanjang hari dan memenuhi pikiran saya. Sekolah dan peradaban. Sekolah dan adab. Sekolah dan proses pember-adab-an. Sekolah yang adil baru beradab ataukah beradab dulu baru adil? Adil kepada siapa? Adil dalam hal apa?

Bagaimana hubungan sekolah dengan cakrawala cita-cita: kemanusiaan yang adil dan beradab? Apakah manusia yang beradab menjadi visi sekolah yang menuntun misi dan tujuan proses pembelajaran di ruang-ruang kelas?

Atau kita batasi saja pertanyaannya supaya tidak melebar. Misalnya, fokus proses belajar di sekolah ditekankan pada kesiswaan atau kemanusiaan? Yang beradab itu siswa atau manusia? Kira-kira demikian pertanyaan sederhananya.

Wa ba’du. Atas semua pertanyaan itu saya berharap semoga kita menyadari kegelapan-kegelapan sikap atau cara berpikir sehingga peristiwa, misalnya penutupan paksa warung makanan yang buka siang hari di bulan Ramadhan tidak terjadi lagi. Bukankah kita mengharap para aparat dan pejabat adalah manusia yang adil dan beradab?

Para aparat dan pejabat pasti mengenyam proses belajar di sekolah. Apabila tindakan yang mereka lakukan masuk dalam kategori tidak adil dan tidak beradab, apakah institusi sekolah boleh lepas tangan ataukah turut bertanggung jawab secara moral?

Bukan dalam rangka menyudutkan sekolah melainkan mengajak sekolah bersama pihak yang mewarnai aktivitas belajar di dalamnya merenung kembali, menghitung diri, muhasabah, agar pola interaksi belajar lebih menekankan sisi kemanusiaan. Sekolah yang menghargai, ngajeni, memanusiakan manusia.

Lagi-lagi kita bisa memulainya dengan sebuah pertanyaan. Sejauh mana sekolah menumbuhkan sikap respek dan welas asih kepada siswanya? Apakah Bapak Ibu guru telah memberikan teladan? Apakah sikap respek dan saling welas asih menjadi ikatan dasar pergaulan diantara guru dan siswa, siswa dan karyawan, karyawan dan guru? Apakah pola pergaulan dalam lingkungan sekolah didasari nilai-nilai humanisme ataukah cenderung didominasi oleh hubungan struktural atas-bawah?

Sekolah adalah ladang untuk menanam benih karakter luhur: nilai-nilai keber-adab-an yang melandasi pola hubungan antara individu di sekolah. Dan individu itu adalah siswa, guru, staf tata usaha, satpam, petugas kebersihan, yang batin martabatnya sama, yakni manusia. Jabatan hanyalah alat untuk menjalankan tugas manajerial – selebihnya yang paling utuh, yang paling utama adalah apapun jabatan dan fungsi yang disandangnya jangan menggerus apalagi menggadaikan martabat kemanusiaan.

Hubungan yang terjalin selama proses belajar semestinya bukan hanya terbatas hubungan antara guru dan siswa. Hubungan profesionalisme guru-siswa kadang menutup sisi kemanusiaan yang lebih fundamental seperti toleransi, saling menghargai, kasih sayang, peduli. Harkat kemanusiaan yang semakin ditinggalkan dan tidak dijadikan ruh dalam menjalani proses belajar.

Akibatnya, sikap adil dan beradab menguap dalam panasnya kerja profesionalisme yang kering. Sekolah berubah menjadi pabrik untuk memproduksi cetakan-cetakan ilmu dan keterampilan. Guru mengajar, siswa belajar. Guru menyampaikan, siswa menerima. Guru menilai, siswa dinilai. Guru menghukum, siswa dihukum. Tidak terjadi dialektika yang adil. Bagaimana dikatakan adil: siswa selalu berada di kutub pasif (di)?

Apabila tatanan keadilan yang seharusnya menaungi pola hubungan guru-siswa telah layu dan kering, lantas digantikan oleh pola hubungan yang linier, kaku, tanpa ruh – akibat selanjutnya adalah pupusnya karakter keber-adab-an. Guru hilang wibawa. Siswa atau orangtua memandang guru tak lebih sebagai pekerja di sekolah yang sewaktu-waktu bisa dipolisikan.

***

Saya memiliki banyak teman guru, mulai dari yang tingkat disiplin profesionalismenya menandingi menteri pendidikan sampai guru yang tidak tersentuh oleh profesionalisme modern. Yang terakhir ini adalah para sahabat saya yang mengabdikan dirinya di dusun paling selatan kabupaten Malang.

Penampilan mereka, maaf, mohon tidak disandingkan dengan guru-guru kota. Para sahabat saya ini adalah guru yang tukang mencari rumput. Guru yang peternak ayam. Guru yang petani. Guru yang nelayan. Kekaguman pada mereka mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa mereka bukan hanya guru. Mereka adalah manusia.

Manusia yang di tengah kerja keras menghidupi anak istri, berkenan untuk meluangkan sebagian besar waktu untuk mendidik anak-anak dusun. Profesionalisme seorang guru tenggelam dan menjadi tidak lagi dominan di tengah sikap mereka yang ngajeni, laden, dan ngeladeni proses belajar anak-anak dusun. Di sekolah itu saya tidak lagi bertemu dengan guru dan siswa. Saya bertemu dengan manusia dan diperlakukan sebagai sesama manusia.

Selain kurikulum formal yang diterapkan di setiap sekolah, tampaknya diperlukan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang menekankan praktek bersikap adil dan beradab. Siapa yang menjalankan kurikulum tersembunyi itu? Semua warga sekolah. Saya pikir selain sekolah berinvestasi untuk melejitkan prestasi siswa atau membangun image sebagai sekolah hebat, mengapa karakter luhur dan adab budaya khas sekolah malah terabaikan? []

Jagalan 120616

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun