Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasehat dari Tukang Sapu

3 Juni 2016   01:09 Diperbarui: 3 Juni 2016   01:27 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang Sapu: Membersihkan yang Kotor (kisahkisah.com)

Sering saya bercerita bagaimana saya sangat bersyukur memiliki banyak sahabat. Mereka sering mampir, dolan, atau sekedar lima menit sepuluh menit ngobrol lalu pamit pulang. Bahkan tak jarang betah duduk lesehan sampai tengah malam lewat.

Tidak ada tema tertentu atau isu besar yang kami bicarakan. Obrolan mengalir begitu saja. Meski demikian saya bisa memetakannya: mulai dari berkeluh kesah alias curhat, menemukan solusi bagi persoalan yang sedang menghadang, mengkritisi praktek pendidikan – dan tema ini rasanya paling sering menghiasi ruang lesehan rumah saya, sampai bagaimana membesarkan hati para sahabat bahwa kemuliaan manusia bergantung pada kesanggupannya mempertahankan martabat dan harga diri.

Ya. Martabat dan harga diri bagi seorang tukang sapu di sebuah sekolah swasta. Malam itu bertamu ke rumah saya empat orang pekerja kebersihan. Tiga orang lumayan mentereng jabatannya: cleaning service. Seorang lagi pengangkut sampah.

Empat orang yang cukup membuat ruang tamu rumah saya kewalahan menampung gelak tawa, kelakar, dan guyunon kami. Sambil lesehan ditemani teh dan kacang godhok kami mengawali jagongan malam itu dengan saling canda. Tak ada marah. Tak ada mangkel. Tak ada rasa saling tersinggung. Cair dan menyenangkan.

“Inilah enaknya masih menjadi manusia. Guyon dan saling ejek dalam batasan yang bisa saling diterima dan dipahami,” ungkap saya menanggapi keakraban malam itu.

“Hidup sekali dibuat mangkel-mangkelan nanti dapat apa?”

“Ya dapat mengkel.”

“Sudah jadi tukang sapu ditambahi mangkel, selalu ingin marah, wajah dilipat-lipat agar kelihatan wibawa, rugi pangkat kuadrat!”

Tertawa kami kembali pecah. Saya lihat wajah mereka ceria, sumringah, cerah.

“Dinikmati saja…!” saran Kang Bogang, pengangkut sampah, “Meskipun pekerjaan kita adalah tukang sapu, berada di susunan pegawai paling bawah, dan hampir selalu diperintah dan tidak pernah memerintah, di saat kita sudah sangat terinjak, minta tolong kepada siapa lagi jika tidak kepada Tuhan.”

Nggeh Mbaaaah…” sahut yang lain. Kompak.

***

Inilah suasana egaliter yang sangat saya suka. Di tengah obrolan, mungkin bagi orang lain  tidak ada manfaatnya, terselip mutiara kebijaksanaan yang keluar dari laku hidup yang otentik. Kandungan rasa, getaran ketulusan, kedalaman muatan pikiran, nasehat atau pitutur yang muncul dari laku hidup yang otentik sungguh rasanya menghujam kesadaran.

Barangkali hal serupa juga terjadi saat media sosial ramai membicarakan sosok Bripka Seladi, anggota polisi di Polres Malang, yang menyambi pekerjaan sebagai pengumpul sampah. Di tengah perbudakan ambisi yang nyaris tanpa henti, Seladi membuka mata kita sekaligus melemparkan kita ke ruang sunyi permenungan, meski sesaat saja, permenungan yang tidak selalu harus diucapkan dengan kata-kata.

Demikian pula dengan para sahabat saya malam itu. Saya tertunduk ketika salah seorang dari mereka menghujamkan nasehatnya ke dada kami.

“Siapa bilang menjadi tukang sapu itu pekerjaan rendah. Siapa bilang menjadi tukang angkut sampah itu pekerjaan hina. Lebih rendah siapa, lebih hina siapa: tukang sapu atau pencuri, perampok, koruptor meskipun penampilan mereka necis dan wangi? Siapa yang lebih hina, tukang sapu atau mereka yang menggelorakan kerja harus ikhlas tapi diam-diam memendam nafsu ambisi untuk memuaskan kepentingan dunianya?”

“Sekarang mari kita teliti. Apa pekerjaan yang lebih mulia dari tukang sapu dan tukang angkut sampah? Siapa yang sanggup menandingi kemuliaan pekerjaan seseorang yang tugas utamanya adalah membersihkan yang kotor. Setelah dibersihkan dikotori lagi, lalu kita bersihkan lagi. Dikotori lagi, lalu kita bersihkan lagi. Siapa yang mulia di hadapan Tuhan: pihak yang mengotori atau pihak yang membersihkan?”

Waduuh, mampus saya, dalam hati saya bergumam. Malam itu saya diguyur hujan anugerah yang datang tanpa disangka sebelumnya.

“Penampilan bisa menipu,” saya berkata memecah diam. “Asesoris kasat mata tidak selalu menunjukkan isi kesejatian. Sedangkan kemuliaan manusia bukan semata bergantung pada apa yang dilihat mata. Senajan asor tata dhohire ananging mulya maqam derajate. Meskipun hina penampilan luarnya tetapi mulia kedudukan dan derajatnya.”

Wah kayak pengajian ya!” tiba-tiba ada yang berseloroh.

“Memang ini pengajian,” kata Kang Bogang.

“Pengajian bagaimana, Kang?”

“Peng-aji-an. Dari asal kata aji. Ngaji itu memproses diri supaya menjadi aji. Berharga. Menghargai martabat dan harga diri orang lain dinamakan ngajeni. Maka, apapun yang kita bicarakan malam ini adalah proses meng-aji-kan diri. Supaya kita menjadi orang aji, berharga, yang mau ngajeni, menghargai dan menghormati harkat martabat sesama manusia. Aji, ngaji, ngajeni.”

“Hebat sampean, Kang!”

Halaaah, itu tadi othak-athik gathuk bikinan saya sendiri.”

Kami tertawa lebar.

***

Keempat sahabat saya ini berpenampilan bukan layaknya orang alim, namun saya berguru kepada mereka tentang laku otentik hidup mereka dalam menghayati kesadaran nilai yang lebih luas dan dalam. Di luar sana mereka bisa siapa saja: pemulung, tukang becak, atau siapapun yang secara penampilan terlihat rendah namun di balik itu tersimpan mutiara penghayatan hidup yang cemerlang. 

Sudahkan kita menemukan sosok seperti itu? []

Achmad Saifullah Syahid

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun