Mapolrestabes Surabaya menangkap delapan anak laki-laki di bawah umur yang diduga sebagai pelaku kejahatan seksual. Korbannya seorang anak perempuan berusia 13 tahun warga Ngagel Kota Surabaya.
Walikota Surabaya, Tri Rismaharani, mendatangi Mapolrestabes dan menanyai salah satu tersangka. “Kamu tahu cara main seperti itu dari mana?” tanya Risma. Salah seorang tersangka menjawab ia mengetahui cara berhubungan seksual dari film porno di sebuah warnet.
Berita kejahatan seksual yang dilakukan anak di bawah umur menyisakan pedih. Orangtua yang mempunyai anak gadis tak putus dirundung cemas. Lingkungan di luar rumah berubah seakan menjadi belantara. Buaya lapar dan ganas mengintai dan siap memangsa.
Anak-anak menjadi “rantai makanan” yang empuk bagi predator-predator yang berkeliaran di belantara kota.
Di tengah ketakutan dan potensi ancaman seperti itu orangtua jangan kehilangan pijakan rasionalitas. Orangtua tidak mungkin mensterilisasi anak dari kebatilan. Keputusan mengirim anak ke lembaga pendidikan yang steril di satu sisi tampak baik dan bijak. Namun, untuk jangka panjang kemandirian berpikir anak, dapatkah upaya setrilisasi itu membendung arus deras tindak kejahatan yang makin mengepung?
Benarkah yang dibutuhkan anak adalah pendidikan yang menerapkan pengawasan selama 24 jam? Pendidikan yang dipagari oleh tembok tinggi sehingga terkesan seperti penjara? Pendidikan yang terpisah dari dinamika lingkungan, dimana kelak anak akan hidup di sana?
Anak adalah aset masa depan. Mereka terlalu lemah untuk mengarungi kehidupan seorang diri. Anak-anak yang rapuh. Generasi gamoh. Pendidikan memperlakukan anak seperti guci kuno berharga miliaran rupiah. Dielus. Ditimang. Dipagari. Dipasangi CCTV.
Pendidikan yang dikuasai rasa takut dan cemas kontra produktif untuk menyiapkan generasi yang memiliki daya tahan atau imunitas sikap dan pendirian terhadap tindak kejahatan.
Pendidikan bukan sterilisasi. Pendidikan itu mendekatkan siswa kepada sikap dan cara pandang kebaikan agar memiliki kedaulatan sekaligus “kekebalan” terhadap ancaman “virus” yang mematikan.
Sudah Baligh Tapi Belum Berakal
Pakar psikologi asal Turki, Malik Badri, memiliki pandangan menarik. Penjenjangan toddler, kids, teenager, adultdengan tahapan awal, tengah dan akhir, bukan berasal dari landasan ilmiah. Itu hanya pengamatan psikologi barat terhadap masyarakat mereka, yang kemudian diadopsi menjadi jenjang persekolahan.
Badri menjelaskan bahwa Islam hanya mengenal dua periode kehidupan di dunia, yaitu sebelum ‘Aqil Baligh dan sesudah ‘Aqil Baligh.
Aqil, dewasa secara psikologis. Baligh, dewasa secara fisik. Keduanya berjalan bareng dan tidak bisa dipisahkan.
Kasus kejahatan seksual yang dilakukan “anak di bawah umur” – di Surabaya delapan pelaku berusia antara 9-14 tahun – menunjukkan “anak” yang sudah baligh tapi belum aqil.
Mereka adalah generasi serba tanggung. Secara fisik disebut dewasa namun secara psikologis terkurung dalam pola asuh anak-anak. Mengapa antara fakta kedewasaan dengan fakta pola asuh terjadi kesenjangan? Bahkan kita memanggil mereka dengan sebutan “anak” atau “anak di bawah umur”?
Dari sekolah tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas mereka adalah “anak kelas 1”, “anak kelas VII”, “anak kelas XI”. Ya. Mereka adalah “anak-anak” sekolah.
Panggilan “anak-anak” mengindikasikan pola asuh kita, pola pendidikan keluarga, pola pendidikan sekolah tidak mendorong mereka menjadi manusia dewasa. Sedangkan tanda manusia dewasa adalah kemandirian berfikir dan kesanggupan menerima risiko dan akibat dari sebuah keputusan.
Faktanya, kesadaran tanggung jawab anak SMA tidak jauh beda dengan anak SD. Mereka selalu bergantung pada pengawasan eksternal. Ujian diawasi. Bermain didampingi. Belajar ditunggui. Tidak heran ketika UN SMP berakhir mereka berteriak, “Bebaaaasss…!”
“Kira-kira bagaimana nilai akhirnya?”
“Tidak usah pusing, Pak. Tidak perlu dipikir. Yang penting sekarang bebaaaas...!”
Mereka terbebas dari aturan dan tekanan eksternal yang diterimanya selama tiga tahun belajar di SMP atau SMA. Bebas dan, kini, saatnya meluapkan kebebasan. Corat-coret seragam, konvoi sepeda motor, pesta miras, adalah fakta ekspresi kebebasan yang mencerminkan tidak terdidiknya pengendalian diri secara internal. Lagi-lagi, “anak-anak” itu sudah baligh, dewasa secara fisik, tapi masih “anak-anak” fase kemandirian berpikirnya.
Bukan anak tapi belum dewasa. Makhluk gerangan apakah mereka? Mungkin lirik lagu Gelisah, Iwan Fals bisa menjawabnya.
Anak muda di ujung jalan / Petik gitar jilati malam / Mata merah hatinya berdarah / Sebab apa tiada yang mau tahu / Pada kelelawar ia mengadu / Pada lampu-lampu jalan sandarkan angan / Pada nada-nada lontarkan marah / Pada alam raya ia berterus terang / Aku gelisah
Jagalan 130506
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H