Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

“Kamu Tahu Cara Main Seperti Itu dari Mana?”

13 Mei 2016   13:32 Diperbarui: 13 Mei 2016   13:48 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Badri menjelaskan bahwa Islam hanya mengenal dua periode kehidupan di dunia, yaitu sebelum ‘Aqil Baligh dan sesudah ‘Aqil Baligh.

Aqil, dewasa secara psikologis. Baligh, dewasa secara fisik. Keduanya berjalan bareng dan tidak bisa dipisahkan.

Kasus kejahatan seksual yang dilakukan “anak di bawah umur” – di Surabaya delapan pelaku berusia antara 9-14 tahun – menunjukkan “anak” yang sudah baligh tapi belum aqil.

Mereka adalah generasi serba tanggung. Secara fisik disebut dewasa namun secara psikologis terkurung dalam pola asuh anak-anak. Mengapa antara fakta kedewasaan dengan fakta pola asuh terjadi kesenjangan? Bahkan kita memanggil mereka dengan sebutan “anak” atau “anak di bawah umur”?

Dari sekolah tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah atas mereka adalah “anak kelas 1”, “anak kelas VII”, “anak kelas XI”. Ya. Mereka adalah “anak-anak” sekolah.

Panggilan “anak-anak” mengindikasikan pola asuh kita, pola pendidikan keluarga, pola pendidikan sekolah tidak mendorong mereka menjadi manusia dewasa. Sedangkan tanda manusia dewasa adalah kemandirian berfikir dan kesanggupan menerima risiko dan akibat dari sebuah keputusan.

Faktanya, kesadaran tanggung jawab anak SMA tidak jauh beda dengan anak SD. Mereka selalu bergantung pada pengawasan eksternal. Ujian diawasi. Bermain didampingi. Belajar ditunggui. Tidak heran ketika UN SMP berakhir mereka berteriak, “Bebaaaasss…!”

“Kira-kira bagaimana nilai akhirnya?”

“Tidak usah pusing, Pak. Tidak perlu dipikir. Yang penting sekarang bebaaaas...!”

Mereka terbebas dari aturan dan tekanan eksternal yang diterimanya selama tiga tahun belajar di SMP atau SMA. Bebas dan, kini, saatnya meluapkan kebebasan. Corat-coret seragam, konvoi sepeda motor, pesta miras, adalah fakta ekspresi kebebasan yang mencerminkan tidak terdidiknya pengendalian diri secara internal. Lagi-lagi, “anak-anak” itu sudah baligh, dewasa secara fisik, tapi masih “anak-anak” fase kemandirian berpikirnya.

Bukan anak tapi belum dewasa. Makhluk gerangan apakah mereka? Mungkin lirik lagu Gelisah, Iwan Fals bisa menjawabnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun