Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis dan Modal Utama Pengembaraan

12 Mei 2016   22:46 Diperbarui: 12 Mei 2016   22:51 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pesan saya ke para pembaca. Menulislah. Karena kita tidak akan pernah tahu ke mana tulisan kita membawa hidup kita. Menulislah! Sebarkan hal-hal yang bermanfaat bagi orang lain melalui apa yang kita miliki, baik pengetahuan, pengalaman, gagasan, atau pun sekedar ide sederhana,” demikian Naftalia Kusumawardhani mengakhiri tulisannya, Ternyata Menulis Mendatangkan Kejutan!

Dan sore itu saya saya benar-benar terkejut. Pasalnya seorang sahabat lama, tanpa ba-bi-bu, tanpa permisi, tanpa pembukaan, tanpa pemanasan, langsung menyerbu. Ini gara-gara tulisan saya, Mencitrakan Kucing Sebagai Harimau. Kemesraan diantara kami menjadi alasan utama saya menerima sikapnya yang blak-blakan itu.

Saya menikmati kejutan kali ini. Apapun yang akan terjadi.

“Setelah Plakat Integritas, Mencitrakan Kucing sebagai Harimau, apa lagi yang akan kamu tulis untuk menelanjangi pendidikan?” sahabat saya bertanya dengan berapi-api.

“Menelanjangi?”

“Tulisanmu tentang pendidikan selalu menelanjangi.”

“Bukan menelanjangi tapi melihat di balik yang tak terlihat.”

“Sama saja.”

“Tidak sama. Menelanjangi itu meruntuhkan kehormatan. Saya tidak pernah menulis untuk menelanjangi pendidikan. Saya memakai kaca pembesar, sesekali mikroskop, untuk melihat yang tidak terlihat.”

“Justru itu tulisanmu berpotensi menelanjangi dan mengurai aib pendidikan.”

“Jadi pendidikan punya aib? Ah, masak pendidikan punya aib? Sebenarnya aku sedang bersedekah untuk pendidikan,” saya menegaskan.

Mbok jangan berlagak jadi orang kaya!”

“Justru karena aku tidak punya banyak uang dan tidak bisa membangun sekolah dengan gedung yang bertingkat. Justru karena aku sangat menghormati dan menjunjung tinggi mereka yang menjadi guru. Justru karena aku orang kecil dan pendidikan menjadi urusan orang-orang besar. Justru karena itu semua aku nekad bersedekah untuk pendidikan.”

Kalimatku tidak terbendung.

“Aku tidak tega melihat sahabat-sahabatku, para guru yang terhormat dan yang selalu dijaga Tuhan siang malam, difungsikan sebagai baut dan paku untuk bangunan pendidikan yang prakteknya akan berakhir dengan menindas harga diri kemanusiaan mereka.

“Tidak kuat perasaanku menampung jeritan hati nurani yang digelapkan oleh semakin tidak terkendalinya logika berpikir dan nalar yang sehat. Guru-guru itu, para sahabatku itu, terlalu suci hatinya sehingga mereka merasa tidak tega kepada pihak yang menggerus integritas kepribadiannya. Pilihan mereka hanya satu: terus menerus melapangkan hati setiap saat, demi menampung sampah-sampah logika dan kebijakan yang kontra produktif bagi misi pendidikan itu sendiri.”

“Mengapa mereka tidak melawan?” tanya sahabat saya

“Melawan siapa?”

“Melawan pihak-pihak yang kamu sebutkan tadi.”

“Tidak ada pihak yang perlu dilawan. Tidak ada orang yang harus dijatuhkan. Yang aku ceritakan tadi tidak harus melalui perlawanan terbuka untuk menyelesaikannya. Mereka berhadapan bukan dengan penyakit lokal. Mereka dikepung oleh gelap peradaban.”

“Kamu suka menyeram-nyeramkan persoalan,” tukas sahabat saya.

***

Dan diskusi atau entah apa nama perbincangan kami terus berlanjut. Saya menemukan kejutan demi kejutan yang menyeruak secara tiba-tiba dari alam berpikir saya sendiri. Atau barangkali kejutan itu merupakan proses alami belaka dari aktivitas menulis? Ya. Menulislah. Akan berhamburan dari dalam jiwamu kejutan-kejutan yang tidak pernah engkau sangka sebelumnya.

Saat kejutan melesat, mengagetkan proses berpikir, jangan cuma bengong. Tangkap dia. Ikat situasi dan material kejutan itu dengan tali-tali serangkaian kata, kalimat, paragraf. Semampuku. Semampumu. Semampu kita.

Kejutan itu sungguh asyik bukan karena ia berhasil mengejutkan kita. Di dalam situasi keterkejutan itu sebenarnya kita sedang mengembarai, menelusuri, merambah, mendalami, menghayati cakrawala batin untuk melihat, menemukan, mengikat, mengalami ketakjuban demi ketakjuban. Di tengah ketakjuban itu tiba-tiba diri merasa kecil dan bodoh.

Modal utama pengembaraan itu adalah kesucian batin dan imajinasi akal, saran Sidik Paningal, seorang Guru yang tidak mau di-guru-kan. Kesucian batin jangan dikotori oleh najis-najis batin. Imajinasi akal jangan diburamkan oleh najis logika berpikir.

Kesucian batin dibutuhkan untuk gerak mendalam. Imajinasi akal diperlukan untuk gerak melebar. Mendalam dan meluas sekaligus. Keseimbangan dalam gerak vertikal dan horisontal.

Keterkejutan adalah saat kita terpana dan tidak bisa berkata apa-apa di padang luas cakrawala Ilmu-Nya.

***

Maka, yang aku lakukan sekedar mentadabburi situasi pendidikan. Aku tidak punya kewajiban mentafsiri pendidikan dan tidak akan pernah mentafsiri pendidikan karena aku bukan ahli pendidikan. Tafsir pendidikan adalah pekerjaan orang besar dan para pakar. Orang kecil dengan keterbatasan ilmu menempuh jalan tadabbur.

Mentafsiri itu mempelajari. Ia memerlukan seperangkat ilmu dan metodologi. Sedangkan mentadabburi itu belajar dari. Apabila aku mentadabburi pendidikan, sekolah, guru, praktek belajar mengajar, komersialisasi pendidikan, agenda korporasi yang diterapkan di sekolah – itu semua aku tempuh dengan sikap seorang mutadabbir. Aku belajar dari semua itu.

Hasil tadabbur pendidikan adalah minimal aku bercermin diri agar menjadi manusia. Hanya itu. Sedangkan untuk bebrayan dengan sesama aku tidak mengulang kesalahan yang kini marak menjangkiti proses pendidikan.[]

Maka, menulislah dan bersiaplah terpaku di altar Ilmu-Nya.

Jagalan 120506

Ilustrasi

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun