Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menulis dan Modal Utama Pengembaraan

12 Mei 2016   22:46 Diperbarui: 12 Mei 2016   22:51 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan diskusi atau entah apa nama perbincangan kami terus berlanjut. Saya menemukan kejutan demi kejutan yang menyeruak secara tiba-tiba dari alam berpikir saya sendiri. Atau barangkali kejutan itu merupakan proses alami belaka dari aktivitas menulis? Ya. Menulislah. Akan berhamburan dari dalam jiwamu kejutan-kejutan yang tidak pernah engkau sangka sebelumnya.

Saat kejutan melesat, mengagetkan proses berpikir, jangan cuma bengong. Tangkap dia. Ikat situasi dan material kejutan itu dengan tali-tali serangkaian kata, kalimat, paragraf. Semampuku. Semampumu. Semampu kita.

Kejutan itu sungguh asyik bukan karena ia berhasil mengejutkan kita. Di dalam situasi keterkejutan itu sebenarnya kita sedang mengembarai, menelusuri, merambah, mendalami, menghayati cakrawala batin untuk melihat, menemukan, mengikat, mengalami ketakjuban demi ketakjuban. Di tengah ketakjuban itu tiba-tiba diri merasa kecil dan bodoh.

Modal utama pengembaraan itu adalah kesucian batin dan imajinasi akal, saran Sidik Paningal, seorang Guru yang tidak mau di-guru-kan. Kesucian batin jangan dikotori oleh najis-najis batin. Imajinasi akal jangan diburamkan oleh najis logika berpikir.

Kesucian batin dibutuhkan untuk gerak mendalam. Imajinasi akal diperlukan untuk gerak melebar. Mendalam dan meluas sekaligus. Keseimbangan dalam gerak vertikal dan horisontal.

Keterkejutan adalah saat kita terpana dan tidak bisa berkata apa-apa di padang luas cakrawala Ilmu-Nya.

***

Maka, yang aku lakukan sekedar mentadabburi situasi pendidikan. Aku tidak punya kewajiban mentafsiri pendidikan dan tidak akan pernah mentafsiri pendidikan karena aku bukan ahli pendidikan. Tafsir pendidikan adalah pekerjaan orang besar dan para pakar. Orang kecil dengan keterbatasan ilmu menempuh jalan tadabbur.

Mentafsiri itu mempelajari. Ia memerlukan seperangkat ilmu dan metodologi. Sedangkan mentadabburi itu belajar dari. Apabila aku mentadabburi pendidikan, sekolah, guru, praktek belajar mengajar, komersialisasi pendidikan, agenda korporasi yang diterapkan di sekolah – itu semua aku tempuh dengan sikap seorang mutadabbir. Aku belajar dari semua itu.

Hasil tadabbur pendidikan adalah minimal aku bercermin diri agar menjadi manusia. Hanya itu. Sedangkan untuk bebrayan dengan sesama aku tidak mengulang kesalahan yang kini marak menjangkiti proses pendidikan.[]

Maka, menulislah dan bersiaplah terpaku di altar Ilmu-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun