Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak Terlibat Masalah di Sekolah, Bagaimana Mengatasinya?

5 Mei 2016   00:19 Diperbarui: 6 Mei 2016   09:22 1793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi: Masalah Anak di Sekolah (http://abiummi.com/assets/uploads/2015/08/perkembangan-anak-usia-dini-1.jpg)

Mengutip hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada 22-24 April 2015, mayoritas (74 persen) orangtua siswa mengaku tidak mengetahui pola pelajaran atau kurikulum yang diterapkan di sekolah. Hasil jajak pendapat ini kemungkinan besar masih terjadi hingga hari ini. Sebuah gambaran minimnya interaksi aktif antara orangtua dan pihak sekolah.

Jajak pendapat itu juga menunjukkan fakta lain. Hampir separuh responden (45 persen) mengaku berkomunikasi dengan guru hanya satu atau dua kali dalam setahun. Artinya, komunikasi itu dijalin di akhir semester (biasanya pada saat pengambilan rapor), atau pada awal tahun ajaran baru (saat mengantar anak usai libur sekolah).

Saya tidak tahu persis apa motif orangtua (responden) pada jajak pendapat itu sehingga interaksi dengan pihak sekolah tergolong minim. Secara sederhana saja, motif itu – mungkin – menggambarkan sedikitnya dua hal. Orangtua sudah sangat yakin dan percaya terhadap peran dan fungsi pendidikan di sekolah. Atau orangtua merasa tidak peduli sama sekali terhadap peran dan fungsi sekolah.

Anak belajar di sekolah tidak selalu bebas dari masalah. Sebagian besar orang tua pernah menerima laporan dari anak atau dilaporkan pihak sekolah bahwa sedang terjadi masalah yang melibatkan anak. Laporan mulai dari permasalahan sepele: pensil hilang, sampai yang paling gawat, misalnya anak memukul atau mencederai temannya.

Orangtua sering tidak bisa menerima laporan semacam itu. Mereka merasa sudah menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak ke sekolah. Didukung oleh asumsi bahwa sekolah merupakan lingkungan pendidikan yang jauh dari kekejaman, orangtua biasanya hanya ingin tahu beres. Beres prestasi akademik. Beres nilai pelajaran. Beres sopan santun.

Ketika anak terlibat masalah di sekolah reaksi orangtua biasanya langsung tertuju pada ketidakberesan, atau lebih jelasnya, ketidakbecusan guru. Dalam situasi konflik semacam ini guru menjadi tersangka utama. Tersangka berikutnya adalah Wali Kelas atau Kepala Sekolah. Dalam beberapa kasus yang melibatkan percekcokan anak di sekolah dasar, tidak segan orangtua menuduh siswa lain sebagai tersangka yang menyakiti anaknya.

Kadang persoalan di sekolah diawali oleh sikap orangtua yang menelan mentah-mentah informasi anak. Cerita tentang sikap guru yang buruk saat mengajar, kamar mandi yang kotor, hukuman fisik yang diterima anak, menyulut nafsu mengkritik sekolah. Orangtua sebaiknya tidak mudah termakan cerita anak. Mohon tidak gebyah uyah, menggeneralisir semua guru bersikap buruk. Bertabayun dengan pihak sekolah adalah langkah bijak.

Kebiasaan saling tuduh ini tidak menyelesaikan masalah. Runyam. Berbelit-belit. Padahal, dalam beberapa kasus, permasalahan itu dapat diselesaikan dengan duduk bersama antara siswa, orangtua, dan pihak sekolah. Meskipun untuk beberapa kasus “berdosis” tinggi, orangtua dan pihak sekolah harus siap berurusan dengan hukum.

Karena itu, mengendalikan emosi dan berpikir jernih sangat dituntut agar orangtua tidak menambah permasalahan baru. Persoalan tidak bertambah pelik. Menyalahkan sekolah, menghakimi anak, menuduh guru lalai menjalankan tugas, justru menambah rumit persoalan.

Bersikaplah fokus pada anak. Hal ini tidak berarti orangtua membela dan membenarkan anak. Kondisi emosi dan pikiran anak menjadi pertimbangan utama sebelum kita melangkah. Orangtua memang kecewa bahkan marah. Tetapi merengkuh anak yang sedang terlibat persoalan di sekolah ke dalam dekapan kasih sayang lebih dia butuhkan. Lagi pula menyelesaikan masalah dalam keadaan marah besar rentan menimbulkan salah paham.

Alih-alih menyalahkan pihak sekolah, orangtua bisa membuka pintu dialog. Guru atau wali kelas atau kepala bidang akademik atau kepala sekolah kita mohon menjelaskan apa yang terjadi. Informasi dari pihak sekolah dapat melengkapi cerita versi anak. Hasil dari pertemuan itu adalah kesepakatan antara orangtua dan pihak sekolah agar menerapkan layanan pendidikan yang memanusiakan anak.

Sesudah komitmen antara orangtua dan pihak sekolah tercapai, hendaknya persoalan itu tidak terbawa sampai ke rumah. Yang terjadi di sekolah biarlah terjadi di sekolah. Di rumah kita kembali menjadi orangtua dan sahabat anak. Menemaninya belajar, mengerjakan tugas sekolah, menjadi teman curhat yang menyenangkan. Afirmasi positif justru memperkuat anak kembali belajar esok hari di sekolah.

Saya kerap menyaksikan anak mogok setelah ia terlibat masalah di sekolah. Ternyata orang tua membawa persoalan itu sampai ke rumah. Anak menanggung rasa bersalah dan takut menatap lingkungan sekolah. Rasa terancam menghantui benaknya. Apabila situasi ini tidak segera dipecahkan, terjadilah lingkaran setan. Orangtua memaksa anak masuk sekolah. Anak menangis di depan pagar sekolah. Orangtua mengancam. Guru datang merayu. Anak makin keras menangis. Orangtua makin memaksa.

Apa gunanya orangtua menjalin komitmen dengan pihak sekolah kalau perubahan positif pada diri anak tidak dihargai? Inilah salah satu poin komitmen yang perlu ditegaskan. Kebiasaan melihat kekurangan anak, baik yang sering dilakukan orangtua dan maupun pihak sekolah, dirubah menjadi kebiasaan meneliti dan menemukan potensi kelebihan anak. Satu kesalahan tidak lantas menghapus semua potensi kebaikan. Patut disayangkan apabila guru dan orangtua hanya piawai menemukan kesalahan anak.

Anak pasti akan berhadapan dengan kesalahan, permasalahan, atau kerumitan-kerumitan saat di sekolah. Namun, semua itu merupakan rangkaian proses belajar yang harus dijalaninya. Di tengah menghadapi kendala, anak sedang belajar menemukan dirinya. Orangtua dan guru hendaknya tidak bosan memberi afirmasi positif atas setiap kebaikan – sekecil apapun kebaikan yang dikerjakan anak.

Alangkah indahnya ketika orangtua dan pihak sekolah saling memberi informasi, saling melengkapi data-data, saling menyokong setiap perubahan anak menuju perilaku yang lebih baik.[]

Jagalan 050516

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun