Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak Terlibat Masalah di Sekolah, Bagaimana Mengatasinya?

5 Mei 2016   00:19 Diperbarui: 6 Mei 2016   09:22 1793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alih-alih menyalahkan pihak sekolah, orangtua bisa membuka pintu dialog. Guru atau wali kelas atau kepala bidang akademik atau kepala sekolah kita mohon menjelaskan apa yang terjadi. Informasi dari pihak sekolah dapat melengkapi cerita versi anak. Hasil dari pertemuan itu adalah kesepakatan antara orangtua dan pihak sekolah agar menerapkan layanan pendidikan yang memanusiakan anak.

Sesudah komitmen antara orangtua dan pihak sekolah tercapai, hendaknya persoalan itu tidak terbawa sampai ke rumah. Yang terjadi di sekolah biarlah terjadi di sekolah. Di rumah kita kembali menjadi orangtua dan sahabat anak. Menemaninya belajar, mengerjakan tugas sekolah, menjadi teman curhat yang menyenangkan. Afirmasi positif justru memperkuat anak kembali belajar esok hari di sekolah.

Saya kerap menyaksikan anak mogok setelah ia terlibat masalah di sekolah. Ternyata orang tua membawa persoalan itu sampai ke rumah. Anak menanggung rasa bersalah dan takut menatap lingkungan sekolah. Rasa terancam menghantui benaknya. Apabila situasi ini tidak segera dipecahkan, terjadilah lingkaran setan. Orangtua memaksa anak masuk sekolah. Anak menangis di depan pagar sekolah. Orangtua mengancam. Guru datang merayu. Anak makin keras menangis. Orangtua makin memaksa.

Apa gunanya orangtua menjalin komitmen dengan pihak sekolah kalau perubahan positif pada diri anak tidak dihargai? Inilah salah satu poin komitmen yang perlu ditegaskan. Kebiasaan melihat kekurangan anak, baik yang sering dilakukan orangtua dan maupun pihak sekolah, dirubah menjadi kebiasaan meneliti dan menemukan potensi kelebihan anak. Satu kesalahan tidak lantas menghapus semua potensi kebaikan. Patut disayangkan apabila guru dan orangtua hanya piawai menemukan kesalahan anak.

Anak pasti akan berhadapan dengan kesalahan, permasalahan, atau kerumitan-kerumitan saat di sekolah. Namun, semua itu merupakan rangkaian proses belajar yang harus dijalaninya. Di tengah menghadapi kendala, anak sedang belajar menemukan dirinya. Orangtua dan guru hendaknya tidak bosan memberi afirmasi positif atas setiap kebaikan – sekecil apapun kebaikan yang dikerjakan anak.

Alangkah indahnya ketika orangtua dan pihak sekolah saling memberi informasi, saling melengkapi data-data, saling menyokong setiap perubahan anak menuju perilaku yang lebih baik.[]

Jagalan 050516

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun