Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Sekolah Menjadi Bagian dari Proses Dehumanisasi Pendidikan

29 April 2016   01:10 Diperbarui: 29 April 2016   17:31 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ilustrasi: Sistem Pendidikan (https://metodesentra.files.wordpress.com/2014/08/pakistans-education-system.jpg)

Teman saya berseloroh, siswa adalah “buruh” dan sekolah adalah “pabrik”. Kalimat yang muncul sepontan di tengah obrolan itu menarik perhatian saya. Ah, siswa ya siswa. Buruh ya buruh. Masak siswa adalah buruh. Sekolah ya sekolah. Pabrik ya pabrik. Masak sekolah adalah pabrik.  Gambaran tentang praktek pendidikan yang berlebihan, demikian pikir saya. Saya tidak ambil pusing.

Namun, kalimat teman saya terus terngiang di telinga. Saya jadi terganggu. Padahal pendidikan kita hingga hari ini baik-baik saja. Kegiatan belajar berjalan lancar dan terstruktur rapi. Mengapa saya terganggung? Atau saya terlalu sensitif dengan praktek pendidikan yang menihilkan harkat martabat manusia? Dehumanisasi pendidikan? Komersialisasi pendidikan?

Baiklah. Bisnis pendidikan memang menggiurkan. Di tahun 1960-an hasil penelitian di Amerika Serikat menyimpulkan investasi dalam dunia pendidikan jauh lebih menguntungkan dibandingkan investasi di bidang saham. Investasi di dunia pendidikan lebih menjanjikan laba finansial. Hingga hari ini pendidikan di Indonesia menjadi ladang investasi yang cukup menggiurkan pengusaha-pendidikan.

Pembukaan fakultas kedokteran oleh perguruan tinggi negeri dan swasta – 75 fakultas kedokteran terlalu banyak karena idealnya hanya perlu 30 – 35 fakultas kedokteran – sangat mudah terbaca motifnya. Hanya mencari uang.

Kapitalisme mencengkeram urat nadi pendidikan. Tidak heran apabila pendidikan dipandang sebagai sebuah proses produksi. Pabriknya bernama sekolah. Teori educational production process adalah pondasi untuk membangun kerajaan bisnis yang malih rupa menjadi sekolah.

Pabriknya bernama sekolah. Siswa dipandang sebagai masukan kasar (raw input). Guru, kurikulum, buku, dan software lainnya menjadi instrumental input. Kondisi lingkungan, sosial, politik, budaya, agama diperlakukan sebagai environmental input. Masukan kasar diproses di dalam pabrik (sekolah) dengan keterlibtan instrumental input dan environmental input menghasilkan lulusan (output) dan hasil yang diserap pasar (outcomes).

Bagus bukan? Proses pendidikan yang cukup handal untuk mencetak output dan outcomes. Tapi mengapa kualitas pendidikan terasa berjalan di tempat? Nah, kualitas sebelah mana yang dipersoalkan. Kalau kualitas hasil pendidikan semata diukur dengan nilai akhir ujian, tidak ada sekolah di negeri ini yang tidak berlomba-lomba meluluskan siswanya. Tingkat kelulusannya rata-rata hampir seratus persen.

Faktanya, pendidikan kita masih berkutat pada berapa nilai akhir, lulus ataukah tidak lulus, naik kelas ataukah tinggal kelas, ranking satu ataukah ranking duapuluh. Output dan outcomes (outcome-based) diraih dengan berbagai cara dan bahkan mengabaikan muatan nilai kejujuran. 

Agenda pendidikan bergeser ke arah penyelarasan sekolah dan sistem pendidikan ke ruang logika operasi korporasi swasta. Logika utama sistem dan manajemen pendidikan menerapkan prinsip-prinsip dari dunia korporasi. Sebuah perusahan harus menghasilkan keuntungan. perusahan bernama sekolah menargetkan dua keuntungan: keuntungan meraih status (lebih) unggul dari sekolah lain dan  keuntungan ekonomis.

Logika korporasi yang menjadi prinsip implementasi dalam manajemen pendidikan mendorong sekolah melakukan pengawasan yang ketat terhadap standarisasi nilai siswa (KKM), kinerja guru, dan pencapaian kelulusan akhir. Kinerja sekolah diikat oleh proses akreditasi. Guru digaji menurut prestasi dan kinerja. Reward dan punishment dijalankan untuk membentuk perilaku siswa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun