Tidak ada jawaban dari anak-anak. Siman memahami mereka tidak mengenal sejarah kampungnya sendiri. Sekolah hanya mengenalkan sejarah bangsa dan itu memang penting. Namun, mengapa anak-anak tidak dibukakan pintu untuk mengenal sejarah dusun, kampung, desa, kelurahan mereka?
Mengapa belum ada kurikulum sekolah yang menantang siswa agar mengenal, memahami, menghayati sejarah dusun kelahirannya? Mengapa anak-anak dusun tidak pertama kali mempelajari kehebatan, keunggulan, potensi, dan kearifan lokal dusunnya sendiri? Mengapa terkesan anak-anak itu sengaja diputus dari sejarah kehebatan mbah buyut dan nenek moyang mereka?
Lagi pula, mengapa tercipta stigma bahwa sejarah mbah buyut dan nenek moyang identik dengan pola hidup kuno, tradisional, ndeso, kolot sehingga tidak perlu lagi dipelajari di tengah arus deras modernitas? Mengapa setiap mata pandang manusia modern diarahkan agar selalu menatap ke depan tanpa dimbimbing oleh kearifan masa lalu sejarah dusun, desa, atau kearifan kakek buyutnya?
Siman makin menggebu. Dan ia sama sekali tidak mampu menjawab semua pertanyaan itu. Siman menangkap sebuah paradoks: sekolah melecut siswanya berlari menggapai garis depan; di saat yang sama siswa asing (atau terasing) dengan lingkungan terdekatnya.
Maka kepada Mbah Dulamat, Mbah Atem, Mbah Ngatemi – sumber ilmu sejarah kelas kampung – Siman dan anak-anak belajar. Apabila dicermati, dulu, di setiap dusun atau kampung hidup para "spesialis". Mbah Wat spesialis pijat metode jilat. Waktu kecil Siman pernah terkilir tangannya. Mbah Wat memijit-mijit tangan Siman. Hanya sebentar. Lalu tangan itu dijilati. Sembuh. Sampai hari ini belum ada hasil laboratorium yang menjelaskan kandungan kimiawi air liur Mbah Wat.
Mbah Kin spesialis nyuwuk anak kecil yang rewel tengah malam. Teman Siman pernah tidak bisa omong karena surub-surub, menjelang maghrib, saat obak-delik, melihat gendruwo besar setinggi pohon kelapa. Matanya segede piring makan. Merah menyala. Among (kesadaran) teman Siman dikembalikan oleh Mbah Kin. Diminumi air di gelas yang sudah disuwuk. Teman Siman kembali ngguya-ngguyu.
Siapa penjaga moral anak-anak di kampung? Ia adalah Wak Kaji Sardi. Keras tapi dermawan. Jangan pernah berani cangkruk saat adzan maghrib. Lari secepatnya sebelum dilempar batu oleh Wak Kaji Sardi. Pelajaran berharga: setiap momen waktu dan skala ruang ada kewajiban yang harus ditunaikan. Dermawan? Wak Kaji Sardi orang kampung yang paling sering bancakan di mushola. Ia terkenal luman dan suka memberi uang anak-anak kecil.
Bukan hanya indah dan mengesankan. Komunitas hidup masyarakat dusun jaman dulu sungguh tangguh. Silaturahim Dongeng yang digagas Siman tidak muluk-muluk targetnya. Ia mejalin tali kenangan masa lalu yang sarat dengan nilai dan kearifan. Siman membayangkan anak-anak yang tidak lagi akrab dengan permainan jaman dulu akan hanyut dibawa oleh retorika dongeng Mbah Dulamat.
Setidanya anak-anak di kampung mulai nyicil mengenal akar sejarah kampung mereka. Sederhana kan? []
Jagalan 270416