Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Mripat 06] Silaturahim Dongeng

28 April 2016   00:09 Diperbarui: 28 April 2016   00:35 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Petani

Setelah mengajak anak-anak sekolah dasar di kampungnya blusukan ke pasar, setelah mengenalkan mereka dengan substansi literasi, setelah melibatkan mereka menyusun proyek kecil-kecilan untuk menemukan solusi bagi lingkungan, kini, Siman merancang acara yang diberi judul Silaturahim Dongeng.

Acara apa itu? Menyambung paseduluran, persaudaraan, perkerabatan dengan orang-orang tua, para sesepuh di kampung. Siman bersama anak-anak akan mendatangi Mbah Dulamat, Mbah Atem, Mbah Ngatemi untuk silaturahim dan belajar dari para orangtua lanjut usia tentang masa lalu.

Atas inisiatif yang sangat mudah disalahpahami ini Siman menyiapkan setumpuk jawaban dan argumentasi. Bukan untuk menjawab para pakar atau yang terhormat kaum guru, melainkan untuk menampung pertanyaan anak-anak yang mulai kritis cara berpikirnya.

“Mbah Dulamat? Mbah Atem?” tanya mereka seraya terbahak-bahak.

“Ngapain kita mengunjungi orang-orang itu?”

“Belajar,” jawab Siman, singkat.

“Mesti Cak Siman ini. Suka aneh-aneh.”

“Apa nama kampung kita ini?” tanya Siman.

“Semampir.”

“Mengapa dinamakan kampung Semampir? Ada yang tahu sejarahnya? Bagaimana riwayatnya sehingga dinamakan Semampir? Sungai di sebelah barat kampung kita apa tiba-tiba ada airnya begitu saja? Dulu, air di sungai apa sudah tercemar dan menjadi got besar seperti sekarang?”

Tidak ada jawaban dari anak-anak. Siman memahami mereka tidak mengenal sejarah kampungnya sendiri. Sekolah hanya mengenalkan sejarah bangsa dan itu memang penting. Namun, mengapa anak-anak tidak dibukakan pintu untuk mengenal sejarah dusun, kampung, desa, kelurahan mereka?

Mengapa belum ada kurikulum sekolah yang menantang siswa agar mengenal, memahami, menghayati sejarah dusun kelahirannya? Mengapa anak-anak dusun tidak pertama kali mempelajari kehebatan, keunggulan, potensi, dan kearifan lokal dusunnya sendiri? Mengapa terkesan anak-anak itu sengaja diputus dari sejarah kehebatan mbah buyut dan nenek moyang mereka?

Lagi pula, mengapa tercipta stigma bahwa sejarah mbah buyut dan nenek moyang identik dengan pola hidup kuno, tradisional, ndeso, kolot sehingga tidak perlu lagi dipelajari di tengah arus deras modernitas? Mengapa setiap mata pandang manusia modern diarahkan agar selalu menatap ke depan tanpa dimbimbing oleh kearifan masa lalu sejarah dusun, desa, atau kearifan kakek buyutnya?

Siman makin menggebu. Dan ia sama sekali tidak mampu menjawab semua pertanyaan itu. Siman menangkap sebuah paradoks: sekolah melecut siswanya berlari menggapai garis depan; di saat yang sama siswa asing (atau terasing) dengan lingkungan terdekatnya.

Maka kepada Mbah Dulamat, Mbah Atem, Mbah Ngatemi – sumber ilmu sejarah kelas kampung – Siman dan anak-anak belajar. Apabila dicermati, dulu, di setiap dusun atau kampung hidup para "spesialis". Mbah Wat spesialis pijat metode jilat. Waktu kecil Siman pernah terkilir tangannya. Mbah Wat memijit-mijit tangan Siman. Hanya sebentar. Lalu tangan itu dijilati. Sembuh. Sampai hari ini belum ada hasil laboratorium yang menjelaskan kandungan kimiawi air liur Mbah Wat.

Mbah Kin spesialis nyuwuk anak kecil yang rewel tengah malam. Teman Siman pernah tidak bisa omong karena surub-surub, menjelang maghrib, saat obak-delik, melihat gendruwo besar setinggi pohon kelapa. Matanya segede piring makan. Merah menyala. Among (kesadaran) teman Siman dikembalikan oleh Mbah Kin. Diminumi air di gelas yang sudah disuwuk. Teman Siman kembali ngguya-ngguyu.

Siapa penjaga moral anak-anak di kampung? Ia adalah Wak Kaji Sardi. Keras tapi dermawan. Jangan pernah berani cangkruk saat adzan maghrib. Lari secepatnya sebelum dilempar batu oleh Wak Kaji Sardi. Pelajaran berharga: setiap momen waktu dan skala ruang ada kewajiban yang harus ditunaikan. Dermawan? Wak Kaji Sardi orang kampung yang paling sering bancakan di mushola. Ia terkenal luman dan suka memberi uang anak-anak kecil.

Bukan hanya indah dan mengesankan. Komunitas hidup masyarakat dusun jaman dulu sungguh tangguh. Silaturahim Dongeng yang digagas Siman tidak muluk-muluk targetnya. Ia mejalin tali kenangan masa lalu yang sarat dengan nilai dan kearifan. Siman membayangkan anak-anak yang tidak lagi akrab dengan permainan jaman dulu akan hanyut dibawa oleh retorika dongeng Mbah Dulamat.

Setidanya anak-anak di kampung mulai nyicil mengenal akar sejarah kampung mereka. Sederhana kan? []

Jagalan 270416

Sumber Gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun