Apakah kita masih menemui kesulitan memotivasi anak? Mengapa begitu sulit membangkitkan motivasinya? Atau barangkali cara memotivasi yang kita terapkan justru menutup jalan bagi munculnya motivasi? Sebenarnya kita mengupayakan motivasi atau merebut dan mendikte motivasi?
Sejumlah pertanyaan itu mengemuka sebagai gambaran untuk memetakan situasi psikologis jiwa orangtua sendiri. Jadi, ini bukan terutama tentang anak melainkan tentang diri kita sendiri, para orangtua. Sebab, pada dasarnya tidak ada orang yang bisa memotivasi orang lain kecuali dirinya sendiri. Peran orangtua adalah menciptakan atmosfer lingkungan yang kondusif bagi terciptanya motif yang kuat, jujur, dan bertanggung jawab bagi anak.
Motivasi hanya bisa ditularkan melalui sikap orangtua yang menginspirasi anak. Keterlibatan faktor eksternal seperti iming-iming hadiah, hukuman, bahkan ancaman sama sekali tidak direkomendasikan. Dorongan eksternal kadang diperlukan untuk memperkuat motivasi bukan untuk menumbuhkan motivasi.
Kita mendambakan buah hati yang terlatih sejak dini sanggup memotivasi dirinya. Mungkinkah hal itu terjadi? Kuncinya terletak di genggaman tangan orangtua. Tugas kita adalah membangkitkan, memantik, menguatkan motivasi anak. Fokus peran dan tugas itu terletak pada diri (internal) kita. Kita selesaikan dulu “hambatan-hambatan” internal yang menghalangi kemampuan menjadi orangtua yang menginspirasi. Apabila kita berhasil menuntaskannya, secara alamiah, mudah-mudahan motivasi itu akan tumbuh pada diri anak.
Hambatan internal itu diantaranya adalah kecemasan yang berlebihan. Kecemasan orangtua yang melewati batas bukan alasan yang tepat untuk memotivasi anak. Nilai pelajaran yang merosot, semangat belajar yang menurun, sikap yang suka membantah, serta sejumlah keprihatinan lainnya, memang membuat cemas setiap orangtua. Bagaimana dengan anak? Belum tentu ia merasakan kecemasan yang sama dengan orangtuanya.
Maka, memaksa anak agar rajin belajar karena didorong oleh kecemasan orangtua yang mengkawatirkan masa depan buah hatinya, bukanlah cara yang tepat memotivasi anak. Apabila jalan ini ditempuh – dengan mengabaikan kemungkinan faktor pemicu turunnya motivasi yang lain – dikawatirkan anak menghadapi beragam tekanan yang justru kontra produktif. Les privat kesana kemari hasilnya adalah anak makin stres dan frustasi. Lemahnya motivasi anak dipicu oleh persepsi kecemasan kita sendiri yang keliru terhadap kondisi jiwa anak.
Ada saran yang cukup menarik. Satu-satunya cara memotivasi adalah berhenti memberi motivasi. Kita fokus pada diri sendiri agar dapat menjadi figur orangtua yang memberi inspirasi pada anak. “Saya figur orangtua yang inspiratif atau pengendali?”
Menelaah pengalaman pribadi bagaimana kita termotivasi oleh inspirasi orang lain merupakan pembelajaran untuk menemukan mekanisme dialektika yang akan kita jalin dengan anak. Inspirasi bukan sekedar quote, kalimat mutiara, atau ungkapan hikmah semata. Inspirasi itu hadir tatkala perbuatan, perkataan, dan sejumlah teladan hadir secara nyata di depan anak. Ini kuncinya.
Sekarang mari kita bayangkan ada dua pintu. Pintu pertama adalah jalan masuk bagi orangtua yang menghendaki anaknya mengerjakan hal-hal yang benar dalam setiap aktivitas. Pintu kedua adalah jalan masuk bagi orangtua yang menginginkan anaknya selalu termotivasi dan bergairah di setiap aktivitas. Pintu manakah yang kita pilih?
Pintu pertama, cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah mendorong, memacu, menginstruksikan, mengecam, memberi hadiah, merayu, membujuk. Aktivitas dikerjakan berkat dorongan eksternal. Pintu kedua, cara mencapai tujuan adalah mempengaruhi, menginspirasi, mendengarkan pendapat anak untuk bekerja sesuai dengan minat, bakat, potensi anak. Aktivitas dikerjakan berkat dorongan internal.
Memotivasi anak terasa sulit bagi orangtua yang fokus pada egoisme dirinya; menjadi gampang bagi mereka yang berhasil menjadi orangtua yang inspiratif. Orangtua yang sudah "selesai" dengan dirinya.
Anak mengalami penurunan semangat dan motivasi sepenuhnya bukan murni salah kita. Tak perlu kita berlebihan menyalahkan diri. Yang perlu segera dilakukan adalah melihat persoalan dari perspektif yang berbeda.
Saat kita berdiri terlalu dekat dengan cermin, pantulan cermin menjadi tidak jelas. Demikian pula dengan anak: berdirilah di jarak yang tepat. Anak kita seutuhunya bukan diri kita. Bagian dari diri kita ada pada anak memang benar, tapi dia bukan kita.
Anak adalah pribadi mandiri yang tidak serupa sama dengan siapapun. Memotivasi anak seperti menatap cermin: pandanglah dirinya dari jarak pandang, sudut padang, cara pandang yang tepat sebagai pribadi yang dianugerahi fitrah oleh Tuhan.[]
Achmad Saifullah Syahid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H