“Hemmm, apa saja berada di tempatnya masing-masing.”
“Kita harus tahu kita sedang berada di mana.”
Jawaban yang tepat dari Rosita. Suasana bertambah gayeng. Sorot mata anak-anak berbinar. Ada cahaya memancar.
***
Cak Siman tidak pernah belajar parenting style. Positive parenting. Entah istilah apa lagi yang berkaitan dengan edukasi dan ilmu mendidik. Agaknya apa yang dia kerjakan berbasis naluri – naluri kepeduliaan. Naluri merasa kasihan pada anak-anak. Naluri untuk merengkuh mereka dengan bekal cinta dan kasih sayang.
Meskipun tidak pernah mengenal parenting style, gaya pendekatan Cak Siman cenderung bersifat humanis. Humanism model orang kampung. Dia memancing, mengajak, menantang anak-anak untuk menggali dan menemukan kesadaran dari dalam diri mereka sendiri.
Cak Siman bertugas sebagai tukang pancing. Anak-anak memiliki potensi. Cak Siman membantu mereka menemukan potensi itu meski hanya secuil dan terlihat remeh. Namun, bagi ikhtiar memanusiakan anak, adakah upaya penyadaran terkesan remeh dan patut diremehkan?
Goal of humanism adalah mendukung dan mendorong anak untuk berkembang secara alami sesuai potensi yang dimilikinya. Pendidikan merupakan upaya dari dalam untuk menggali, menumbuhkan, mengembangkan, memaksimalkan “permata” dalam diri mereka. Setiap permata bersifat unik. Ketika berkumpul duapuluh lima anak dalam satu ruangan, sedikitnya berkumpul pula dua puluh lima keunikan. Mozaik yang teramat indah untuk dipangkas dan distandarisasi.
Pendidikan beserta semua perangkat pendukungnya perlu berendah hati di depan siswa dan anak. Berendah hati sebagai sesama manusia, sesama hamba Tuhan, yang dibekali keunggulan dan kelemahan. Regulasi, kurikulum, silabus, hard skills, soft skills, metode belajar hingga pengembangan lingkungan pendidikan dikembangkan dalam satu premis yang sama: setiap anak unik dan memiliki keunikannya masing-masing.
Keunikan anak bukan hasil pesanan orangtua. Ia adalah anugerah kemurahan Tuhan bagi manusia untuk membangun peradaban yang berkasih sayang. []
Achmad Saifullah Syahid