"Para guru menerima gaji jika sekolah memiliki dana lebih. Biasanya kami menjual hasil kebun kami masing-masing untuk membiayai operasional sekolah. Kalau ada kelebihan dana akan kami berikan kepada para guru sebagai gaji."
Hal itu dikuatkan oleh Ibu Suji, salah satu guru dan pengabdi di Bajulmati, yang tiap pagi harus menempuh jarak 25 km dari rumahnya menuju sekolah tanpa jaminan uang bensin. Gaji tidak menentu atau sekedar uang bensin pun jangan terlalu berharap.
"Kalau sekolah punya dana kadang saya diberi uang bensin. Kalau tidak ada sering memakai uang pribadi," ungkap Ibu Suji.
Pak Izar mengatakan, bantuan pendidikan dari pemerintah hampir tidak pernah diterima. Taman Kanak-Kanak Tunas Harapan yang berlokasi di Gua Cina murni hasil kepedulian dan swadaya warga dusun. Kayu yang menopang sekolah adalah sumbangan dan hasil kerja warga yang "ahli" pertukangan. Ranting-ranting kering dibersihkan oleh ibu-ibu yang memerlukannya untuk bahan bakar di dapur. Pak Wagimin yang memiliki banyak pohon kelapa sering menyumbangkan hasil penjualan kelapa untuk biaya operasional sekolah.
:: Anak Bajulmati Cinta Belajar
Konsep sekolah komunitas segera melintas di benak saya. Salah satu misi sekolah komunitas adalah tidak membangun sekolah an-sich, tetapi juga membangun jaringan. Tentu saja jaringan ini dimulai dari warga dusun dan orangtua siswa. Tanpa dukungan warga sekolah komunitas dusun Bajulmati sekolah Tunas Harapan tidak akan pernah berdiri.
Ketika saya menyampaikan bahwa sekolah Tunas Harapan adalah sekolah komunitas, Pak Izar menjawab dengan polos bahwa dirinya sama sekali tidak tahu konsep itu.