Integritas dan moralitas para calon kepala daerah peserta pemilukada tahun 2018 masih diragukan. Fakta ini dikuatkan dengan banyaknya OTT KPK terhadap mereka. Status tersangka pun ditetapkan. KPK pun sangat aktif melakukan penelusuran rekam jejak dari mulai penyelidikan dan penyidikan terhadap Paslon kepala daerah.
Ketua KPK pernah bilang akan ada calon petahana kepala daerah akan kena jerat hukum. Komisioner KPK lainnya juga bilang menunggu waktu yang tepat. Kata "akan" dan "waktu yang tepat" adalah dua hal yang dapat menimbulkan polemik baru. Kita pasti dukung KPK. Pasti apalagi OTT kepala daerah. Idealnya istilah "akan" jangan sampai terpublikasikan. Bisa jadi akan dimanfaatkan oleh pihak lain. Idealnya dibahas internal KPK saja. Apalagi para pengusung Paslon berasal dari Parpol.
Dalam menanggapi keadaan ini, pemerintah melalui Menkopolhukam melakukan Rakorsus (Rapat Koordinasi Khusus) Pemilukada dan diikuti Mendagri, Panglima TNI, Kapolri, ketua KPU dan ketua Bawaslu pada tanggal 12 Maret 2018. Tujuannya tentu baik ingin menjaga stabilitas keamanan daerah dan menjaga kondusifitas kontestasi antar Parpol. Arahnya lebih cenderung pertimbangan di luar hukum.
Salah satu hasilnya pun, merekomendasikan agar KPK menunda dahulu terhadap indikasi Paslon yang terkena kasus hukum. Makna hanya sebatas himbauan dengan sifat rekomendasi ini tidak wajib ditaati. Bahkan, Rakorsus pun dilanjutkan dan dibahas dengan mitra kerja KPK yaitu Komisi III DPR. Arahannya pun tetap agar ditunda kecuali adanya OTT dan kasus tindak pidana pemilukada sesuai UU Pemilukada. Kejadian ini telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Sejak genap 2 (dua) bulan Januari sampai akhir Februari tahun 2018 sudah dihebohkan adanya penetapan tersangka oleh KPK. Mereka adalah Bupati Hulu Tengah, Bupati Kebumen, Bupati Jombang, Bupati Ngada, Bupati Halmahera, Bupati Subang, Bupati Lampung Tengah, Wali Kota Kendari dan Gubernur Jambi.
Sebagian dari mereka juga sebagai salah satu Paslon pemilukada tahun 2018. Tersangka baru, tetapi bukan dari KPK adalah calon kepala daerah dari Sumatra Utara. Pasca tidak diloloskannya dari KPU, gugatan ke Bawaslu akhirnya menang dan setelah penyidikan dari Kepolisian ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemalsuan tanda tangan (Polri masuk dalam domain UU Pemilukada dan boleh dilanjutkan).
Posisi KPK pasca putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 tanggal 8 Februari 2018 memang telah menimbulkan dampak dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Walapaun jika kita telusuri sebelumnya sudah ada 4 putusan MK yang berkaitan dengan tafsir independensi KPK termasuk ada intervensi termasuk dari DPR.
Jika KPK adalah objek dari Pansus KPK, maka memang identik sebagai bagian dari pemerintah. DPR berhak memposisikan KPK sebagai objek Pansus KPK. Persoalannya bukan pada substansi secara khusus setelah adanya putusan MK. KPK adalah bagian dari penegak hukum. Pun telah dijamin dalam UU. Bukankah Kepolisian dan Kejaksaan adalah juga penegak hukum?. Mereka juga independen dari intervensi pemerintah dalam penegakan hukum. Lalu KPK?
Justru, sebagai lembaga penegak hukum yang khusus dalam pemberantasan korupsi wajib jauh dari intervensi dari pihak mana pun. Khususnya dari pemerintah bersama jajarannya. Presiden juga harus menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Harus tegas dan menguasai masalah.
Sekali lagi kita akan dukung KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di daerah. OTT masih efektif. Agar pemilih tidak salah pilih pemimpinnya. KPK adalah lembaga independen. Pemerintah tidak ada wewenang memerintahkan apa pun pada KPK. Bagi harus KPK hati2 terus lanjutkan walau ada himbauan dari pihak pemerintah agar menghentikan indikasi kasus Paslon kepala daerah. KPK tidak boleh diintervensi.
Hal ini sesuai dalam Pasal 3 UU KPK yang berbunyi " Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun". Biarkan saja KPK berjalan sesuai tugas dan wewenangnya. KPK harus lebih hati-hati dan waspada dari penunggang gelap yang tiap waktu akan melemahkan.