Melalui Bloomberg Initiative, Bloomberg setiap tahunnya menggelontorkan dana kepada organisasi-organisasi anti tembakau di Indonesia. Organisasi-organisasi yang membawa agenda titipan asing ini merasuk ke lembaga penelitian, lembaga pemerintah, pengawasan good governance, forum parlemen, lembaga kemasyarakatan hingga keagamaan. Dari tahun 2007 sampai tahun 2015, total dana yang telah dikucurkan Bloomberg Initiative ke lembaga-lembaga anti tembakau di Indonesia saja nilainya cukup fantastis yakni mencapai US$ 7.401.212.
Organisasi-organisasi yang menikmati kucuran tersebut pun nama-namanya sudah dapat di akses dari berbagai sumber. Mereka antara lain: Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Komnas Perlindungan Anak Provinsi Bali, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan Tobacco Control Working Group, Forum Warga Kota Jakarta, No Tobacco Community (NTC), Asosiasi Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Yayasan Pusaka Indonesia, dan Muhammadiyah.
Sasaran utama dari Bloomberg Initiative adalah mematikan industri hasil tembakau di Indonesia. Bagaimana strateginya? Menghadirkan regulasi yang ketat bagi industri hasil tembakau. Saat ini, Kementerian Kesehatan tengah Menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RRP) Kesehatan, yang nanti menjadi produk turunan hukum dari Undang Undang Kesehatan 2023.
Dalam beleid yang tengah disusun itu terdapat sejumlah pasal yang memberatkan industri hasil tembakau. Misalnya Pasal 438 Ayat 1 terkait kemasan rokok yang mengharuskan minimal 20 batang per bungkus, Pasal 152 Ayat 1 dan 2 menyangkut penyelenggaraan produksi, impor, dan pengaturan peredaran produk tembakau serta rokok elektronik. Lalu Pasal 457 yang mendorong alih tanam tembakau kepada produk pertanian lain.
Apakah hanya itu? Tidak. Organisasi-organisasi tembakau juga mengupayakan agar RPP mengatur pelarangan iklan rokok yang jam tayangnya semakin sempit dari semula 21.30 -- 05.00 menjadi 23.00 -- 03.00. Lalu larangan total semua aktivitas di media elektronik dan luar ruang serta kegiatan kreatif, termasuk untuk musik terlepas dari pembatasan umur penonton yang hadir, hingga larangan peliputan tanggung jawab sosial (CSR). Dampak negatifnya tentunya tidak hanya ditanggung sendiri oleh industri hasil tembakau, namun juga industri kreatif nasional.
Para pemangku kepentingan di industri tembakau menolak keras pasal-pasal tersebut. Jika beleid tersebut diimplementasikan maka akan menciptakan "kiamat" bagi industri hasil tembakau, di mana sekitar 6 juta masyarakat di Indonesia menggantungkan nasibnya pada industri ini. Artinya, Pemerintah Indonesia akan menghadapi angka pengangguran yang meningkat, selain terhentinya pemasukan dari penerimaan cukai rokok untuk membiaya belanja negara.
"RPP Kesehatan hanya melihat masalah tembakau dan produk turunannya sebagai masalah kesehatan semata, dan tidak memandang dampaknya dari sudut pandang ekonomi, perdagangan, dan sosial. Kementerian Kesehatan mempertaruhkan masa depan jutaan petani serta ekonomi Indonesia tanpa ada kebijakan dan rencana yang jelas," kata Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Provinsi Nusa Tenggara Barat, Sahminudin.
Sudah seharusnya Pemerintah Indonesia bebas dari intervensi asing dalam menentukan arah kebijakan. Jangan sampai negara ini terkena tipu daya Bloomberg yang menyembunyikan wajahnya di balik topeng kemanusiaan. Â Â
Referensi: