Dokter merupakan  profesi yang mulia, banyak orang tua yang menaruh harapan besar kepada anaknya  untuk bisa menjadi dokter.Â
Selain penghasilan dokter yang terbilang cukup tinggi yang tentunya kesejahteraan sudah pasti terjamin serta menjadi kebanggaan tersendiri baik pribadi maupun keluarga, karena sudah berhasil menempuh pendidikan kedokteran yang tidak semua orang bisa menjadi dokter.Â
Berdasarkan informasi dari website fk.ui.ac.id sejarah singkat kedokteran di Indonesia di mulai dari sejak zaman kolonial Belanda, tepatnya pendidikan dokter di Indonesia lahir pada tanggal 2 Januari 1849 lewat keputusan Gubernemen No. 22, ketetapan itu menjadi titik awal  penyelenggaraan pendidikan kedokteran di Indonesia (Nederlandsch Indie).Â
Yang ketika itu dilaksanakan di Rumah Sakit Militer. Dua tahun selanjutnya sekitar bulan Januari 1851, untuk pertama kali di buka Sekolah Pendidikan Kedokteran di Weltevreden  dengan lama pendidkan 2 tahun dan jumlah siswa 12 orang. Walaupun hanya berjumlah 12 orang dokter tersebut di gelari Dokter Djawa melalui surat Keputusan Gubernemen tanggal 5 Juni 1853 No. 10.Â
Meski di beri titel dokter , lulusan sekolah tersebut hanya dipekerjakan sebagai Mantri Cacar. Butuh waktu selama 10 tahun,  agar dokter-dokter Indonesia di beri kewenangan lebih  dari sekedar Mantri  Cacar.Â
Pendidikan Kedokteran ada regulasi terbaru pada tahun 1864, saat itu untuk menempuh pendidikan kedokteran harus selama 3 tahun, dan pada saat itulah lulusan dokter dapat berdiri sendiri meskipun kenyataannya masih di bawah naungan pengawasan dokter Belanda.Â
Seiring perkembangan ilmu kedokteran yang semakin pesat, regulasi pendidikan kedokteran menjadi 7 tahun, termasuk pendidikan Bahasa belanda yang menjadi bahasa pengantar pendidikan kedokteran di Indonesia.Â
Tidak bisa dipungkiri, ilmu kedokteran di Eropa mengalami kemajuan yang pesat  termasuk di Belanda, jadi wajar dokter-dokter Indonesia di awal kemunculannya masih mengadopsi dan belajar ilmu Kedokteran dengan dokter Belanda. Pada tahun 1898, akhirnya berdiri sekolah pendidikan kedokteran yang di sebut STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen).Â
Para alumni ketika itu di sebut Inlandse Arts. Lama pendidikan kedokteran kembali bertambah 2 tahun, menjadi 9 tahun, pada tanggal 1 Maret 1902 sekaligus mempelopori gedung baru sekolah Kedokteran di  Hospitalweg (sekarang Jl. Dr. Abdul Rahman Saleh 26).Â
Lama pendidikan 9 tahun, dibagi menjadi 2 tahun perkenalan dan 7 tahun pendidikan kedokteran. Pada tahun 1913. Organisasi STOVIA makin di sempurnakan, regulasi masa studi pendidikan kedokteran bertambah lagi menjadi 10 tahun terdiri dari 3 tahun masa perkenalan dan 7 tahun pendidikan kedokteran.Â
Pendidikan kedokteran resmi  menjadi pendidikan tinggi  dengan nama  Geneeskundige Hooge School (GHS) pada tanggal 9 Agustus 1927.Â
Pada tanggal 29 April 1943, Â sekolah kedokteran beranama Ika Daigaku dibuka sebagai hadiah dari pemerintah jepang untuk Indonesia, dengan Prof. Itagaki sebagai dekan fakultas. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) di Era pasca Kemerdekaan, pada tahun 1946 STOVIA berganti nama menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia.Â
Pada tanggal 2 Februari 1950, kedua instansi yaitu, Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dan Geneeskundige Faculteit Nood-Universiteit van Indonesie, digabung menjadi satu yaitu dengan memaaki nama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hingga saat ini.Â
Seiring perkembangan Ilmu pengetahuan dan modernisasi teknologi Menurut Ketua konsul Kedokteran Indonesia Bambang Supriyatno, jumlah fakultas kedokteran yang ada di Indonesia tahun 2019, sebanyak 89 fakultas yang berada sebaanyk 38 di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) DAN 51 Perguruan Tinggi Swasta. Saat ini untuk kebutuhan  dokter di indonesia tahun 2022 sebayak 270.000 dokter, berdasarkan  informasi dari bapak Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam sisara persnya (12/07/2022), baru ada 140 ribu dokter, berarti masih ada kekurangan sebanyak 130 ribu dokter.Â
Terkini terdapat sekitar 36 macam profesi kedokteran yang ada di Indonesia seperti, Dokter Spesialis Anak, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Dokter Spesialis Kandungan atau Ginekologi, Dokter Spesialis Bedah, Dokter Spesialis Mata, Dokter Spesialis Paru, Â Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa, Dokter Spesialis Kedokteran Gigi dan masih banyak jenis kedokteran lainnya.Â
Mungkin sebagian besar orang, lebih sering bertemu dengan dokter umum. Dilansir dari Alodokter com, dokter umum adalah seorang dokter yang berfokus untuk menangani gejaladan penyakit pada pasien secara umum. Tepat pada hari ini, Senin 24 Oktober 2022 merupakan hari Dokter nasional, sekaligus menjadi hari jadi  Ikatan Dokter  Indonesia (IDI).Â
IDI merupakan organisasi profesi Dokter terbesar di Indonesia, selain itu terdapat juga Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI). Peranan dokter di Indonesia dari era kolonial sampai terkini sangatlah besar, betapa banyak jiwa-jiwa yang bisa di selamatkan oleh  dokter. Untuk di Indonesia senidir, menurut penulis ada 5 Problematika kedokteran menuju indonesai sehat, yaitu:
1. Jumlah Dokter di Indonesia Masih Minim
Seperti yang sudah di jelaskan bapak Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, bahwa di Indonesia masih kekurangan sebanyak 130 ribu dokter, apalagi dengan semakin banyaknya jumlah penduduk di Indonesia harus di imbangi dengan tersedianya dokter .
2. Distribusi Jumlah Dokter di Daerah Terpencil  Masih Minim
Butuh keikhlasan dan ketulusan serta keinginan yang luhur untuk seorang dokter agar mau bersedia atau di tempatkan di daerah terpencil.
3. Jumlah Professor di bidang  Kedokteran di Indonesia Masih tergolong Minim
Untuk pasien dari kalangan ekonomi  atas untuk berobat ke luar negeri, merupakan hal yang sudah biasa dan bisa kapan saja, tetapi bagaimana  dengan masyarakat berpenghasilan rendah?
Untuk itu ke depannya di butuhkan Profesor di bidang Kedokteran agar jumlah professor bisa semakin bertambah dan bisa mengobati masyarakat yang berpenghasilan rendah sehingga pasien tidak perlu jauh-jauh untuk  berobat ke luar negeri yang meemrlukan  biaya yang sangat besar.
4. Jumlah Peralatan  Medis yang Berteknologi Canggih  Masih terbatas
Problem ini hampir sama dengan terbatasnya jumlah profesor di bidang kedokteran, jumlah peralatan medis berteknologi masih sangat terbatas, ada beberapa jenis penyakit yang harus di deteksi dan melalui metode pengobatan  dengan peralatan medis berteknologi canggih.
5. Masih Kurangnya Sosialisasi Kesehatan  Tentang Pentingnya  Mendeteksi Penyakit Sejak Dini
Sebagian besar masyarakat di Indonesia, mungkin masih kurang kesadaran untuk mendeteksi penyakit sejak dini. Padahal jika masyarakat rajin cek kesehatan dari sejak balita hingga dewasa dalam beberapa bulan sekali, itu sangat bermanfaat sekali untuk bisa mendeteksi lebih awal agar jika sudah diketahui penyakitnya  bisa segera di obati  minimal bisa di redakan rasa sakitnya.
Sebenarnya masih banyak lagi problematika-problematika yang harus di hadapi oleh dokter di Indonesia dalam menjawab tantangan zaman.Â
Problematika lainnya seperti  jaminan kesehatan gratis untuk pengobatan masyarakat berpenghasilan rendah  baik yang sudah memiliki kartu  BPJS Kesehatan dan bagi warga  yang belum memiliki kartu BPJS Kesehatan, kurang tersedianya makanan bergizi dan layak di konsumsi, kurangnya sosialisasi edukasi kesehatan tentang bahaya merokok, minuman keras dan narkoba.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI