Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghargai Keragaman Bangsa Melalui Festival Kebhinekaan

21 Februari 2024   02:26 Diperbarui: 21 Februari 2024   02:43 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhamad Sridipo dari Watchdoc Documentary sekaligus produser film dokumenter (dokpri)

     Nilai-nilai toleransi sebaiknya disebarkan lintas generasi. Kegiatan seperti Festival Kebhinekaan hadir sebagai ruang diskusi dan dialog lintas agama sesuai ajaran masing-masing. Semua membaur untuk suarakan keragaman agar sikap saling menghormati dan menghargai akan muncul.

     Tak kenal, maka tak sayang. Festival Kebhinekaan sedang berlangsung dalam rangkaian acara kreatif seperti sesi diskusi, pemutaran film, sampai wisata kebhinekaan ke tempat-tempat religi (rumah ibadah). Dengan mengusung konsep toleransi antar umat beragama, festival ini sebagai ajang perekat siapa saja yang hadir dari agama atau suku manapun tanpa terkecuali.

      Inilah latar belakang Wisata Kreatif Jakarta (WKJ) menggelar pembukaan Festival Kebhinekaan di Perpustakaan Jakarta Pusat, Tanah Abang pada Sabtu (17/2). "Walau berbeda, tapi tetap bersaudara dan berbangsa satu, Indonesia" ini yang jadi nafas dalam festival yang rutin diselenggarakan tiap tahun. Senang sekali rasanya ikut serta dalam festival tahun ini karena bisa bertemu juga dengan rekan-rekan Kompasianer lain.

     Festival yang ditujukan untuk merayakan kebhinekaan dan toleransi lintas agama punya agenda pemutaran film dan sesi diskusi pada sore itu. Penulis tak mau ketinggalan untuk menyaksikan dua film dokumenter yang berjudul "Puan Hayati" dan "Simalakama di Tanah Istimewa". Dari dua film yang ditayangkan, penulis bisa paham seperti apa diskriminasi yang terjadi di Indonesia dan bagaimana merawat keragaman terhadap agama maupun suku tertentu.

     Film Puan Hayati berkisah tentang penganut agama Sapta Darma. Mereka punya perkumpulan Perempuan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Hyang Maha Esa. Ajaran agama ini punya kegiatan spiritual seperti sujudan harian dan sujud penggalian. Dwi Setyani Utami dan Nata Hening Graita Prameswari menjadi bagian dari perempuan yang bergabung dalam paham agama tersebut. Mereka menceritakan sempat jadi korban intoleran dalam lingkungan masyarakat sekitar. Hingga ajaran agamanya diakui negara dengan penerbitan atau penulisan status agama pada e-KTP yang dipunya.

    Dalam diskusi, narasumber film dokumenter pertama turut hadir. Nata yang statusnya masih mahasiswi punya impian menjadi penyuluh atau guru bagi penghayat kepercayaannya. Ia begitu percaya diri bahwa negara bisa memberi rasa aman bagi warga sepertinya yang mengamalkan ajaran rohani dari agama Sapta Darma ini. Sementara Ani Ema sebagai asisten sutradara yang juga hadir dalam diskusi menuturkan bahwa pembuatan film ini sebagai bentuk penghapusan diskriminasi terhadap kepercayaan yang sudah diakui.

     Sayangnya, film dokumenter Puan Hayati tidak memberi tahu awal mula agama Sapta Darma berkembang di Indonesia seperti apa. Penonton masih sulit kenal lebih dekat terhadap narasumber-narasumber yang diminta pendapat. Selain itu, refleksi lintas iman atau kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan Nata juga tak terekspos lebih jelas.

      Beda hal dengan film dokumenter kedua yang telah ditonton. Judulnya Simalakama di Tanah Istimewa. Film ini fokus pada kehidupan etnis Tionghoa di Jogja yang sulit punya hak milik tanah. Mereka selalu dianggap jadi minoritas akibat aturan atau kebijakan yang terjadi pada masa lampau. Para narasumber yang mewakili etnis tersebut seperti Harry Setio (pemilik Paguyuban Budi Abadi), almarhum Willie Sebastian (aktivis Tionghoa yang tinggal di Jogja), Andry Lesmono Bintoro (sekretaris Forum Peduli Tanah DIY), dan Elin Sugianti (Pengusaha sekaligus Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia)

      Fenomena tersebut seperti anomali sosial politik yang terjadi atas instruksi kepala daerah sejak tahun 1975. Untuk mendapat sertifikat tanah saja, mereka selalu terbentur larangan yang menyebutkan bahwa warga dari Asia dan Eropa termasuk Tionghoa tidak boleh memiliki tanah di Jogja. Indikatornya 'kulit putih' dan 'mata sipit' sehingga siapapun yang punya ciri fisik tersebut akan menemui birokrasi berbelit saat menghadap Badan Pertanahan Nasional (BPN) regional Jogja.

     Padahal di Jogja sudah banyak dibangun kelenteng, kawasan pecinan (Kampung Ketandan), dan Bangsal Trajumas. Bahkan, Tan Jing Sing pernah menjadi bupati Yogyakarta keturunan Tionghoa dan setiap perayaan umat besar Konghuchu juga berlangsung meriah. Lantas, mengapa saat mereka ajukan hak tanah ke BPN selalu ditolak?

Muhamad Sridipo dari Watchdoc Documentary sekaligus produser film dokumenter (dokpri)
Muhamad Sridipo dari Watchdoc Documentary sekaligus produser film dokumenter (dokpri)

     Seolah tak cukup melihat penjelasan visual, penulis pun ikut sesi diskusi yang menghadirkan salah satu produser film dokumenter ini. Ia adalah Muhamad Sridipo. Dari diskusi, kita bisa paham bahwa ada guncangan politik yang terjadi di Jogja sehingga kondisi sosial ekonomi mencuatkan problem penguasaan tanah yang menyimpang. Ada abdikasi, keuangan, dan pertanahan yang mau diungkap dalam film dokumenter ini.

     Demi mendapat hak atas tanah, etnis Tionghoa di sana tetap bertahan hidup melalui kegiatan kesenian seperti atraksi Barongsai atau wira usaha untuk dukung ekonomi kreatif daerah tersebut. Meski dibatasi aturan, mereka tetap ingin ada dialektika ruang antara warga negara dan aturan yang hidup. Mereka tetap berada pada jalur penantian dan ingin diperlakukan sebagai warga negara lain yang setara.

    Film dokumenter ini memang lebih lengkap dari film pertama. Hanya pada suara narator masih seperti pembawa berita. Padahal kalau suara narator lebih menekankan pada intonasi penceritaan tentu penonton bisa lebih terlarut dalam nasib pilu etnis Tionghoa yang hidup di Jogja tapi merasa tak punya hak kepemilikan atas tanahnya sendiri. Mereka masih menyimpan tekad untuk dapat hak atas tanah dan diskriminasi terhadap etnisnya pun bisa musnah.

        Setelah menonton kedua film dokumenter tersebut peningkatan kesadaran penulis tentang toleransi makin terbentuk. Semua individu yang tinggal di Indonesia tentu punya hak yang sama sebagai warga negara. Seperti yang kita ketahui, perkuat lagi sikap saling menghargai dan menghormati atas keragaman. Dengan begitu, kita bisa menjunjung tinggi pancasila sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia.

Kegiatan harian Festival Kebhinekaan (dok. Wisata Kreatif Jakarta)
Kegiatan harian Festival Kebhinekaan (dok. Wisata Kreatif Jakarta)

        Festival Kebhinekaan yang diadakan Wisata Kreatif Jakarta (WKJ) luar biasa antusiasmenya. Acara yang sudah menginjak tujuh tahun tersebut menyebarkan pesan perdamaian, toleransi antarumat beragama, dan pencegahan radikalisme. Dengan usung tema "Anjangsana Kebhinekaan", maka festival ini mendorong setiap peserta yang datang untuk menjadi toleran di tengah kemajemukan bangsa Indonesia. Semoga para pengambil kebijakan publik terutama Pemerintah juga bisa ikut serta hadir dalam festival ini sehingga mereka bisa lebih melek terhadap realita keragaman bangsa yang ada dalam kehidupan nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun