Nilai-nilai toleransi sebaiknya disebarkan lintas generasi. Kegiatan seperti Festival Kebhinekaan hadir sebagai ruang diskusi dan dialog lintas agama sesuai ajaran masing-masing. Semua membaur untuk suarakan keragaman agar sikap saling menghormati dan menghargai akan muncul.
   Tak kenal, maka tak sayang. Festival Kebhinekaan sedang berlangsung dalam rangkaian acara kreatif seperti sesi diskusi, pemutaran film, sampai wisata kebhinekaan ke tempat-tempat religi (rumah ibadah). Dengan mengusung konsep toleransi antar umat beragama, festival ini sebagai ajang perekat siapa saja yang hadir dari agama atau suku manapun tanpa terkecuali.
   Inilah latar belakang Wisata Kreatif Jakarta (WKJ) menggelar pembukaan Festival Kebhinekaan di Perpustakaan Jakarta Pusat, Tanah Abang pada Sabtu (17/2). "Walau berbeda, tapi tetap bersaudara dan berbangsa satu, Indonesia" ini yang jadi nafas dalam festival yang rutin diselenggarakan tiap tahun. Senang sekali rasanya ikut serta dalam festival tahun ini karena bisa bertemu juga dengan rekan-rekan Kompasianer lain.
   Festival yang ditujukan untuk merayakan kebhinekaan dan toleransi lintas agama punya agenda pemutaran film dan sesi diskusi pada sore itu. Penulis tak mau ketinggalan untuk menyaksikan dua film dokumenter yang berjudul "Puan Hayati" dan "Simalakama di Tanah Istimewa". Dari dua film yang ditayangkan, penulis bisa paham seperti apa diskriminasi yang terjadi di Indonesia dan bagaimana merawat keragaman terhadap agama maupun suku tertentu.
   Film Puan Hayati berkisah tentang penganut agama Sapta Darma. Mereka punya perkumpulan Perempuan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Hyang Maha Esa. Ajaran agama ini punya kegiatan spiritual seperti sujudan harian dan sujud penggalian. Dwi Setyani Utami dan Nata Hening Graita Prameswari menjadi bagian dari perempuan yang bergabung dalam paham agama tersebut. Mereka menceritakan sempat jadi korban intoleran dalam lingkungan masyarakat sekitar. Hingga ajaran agamanya diakui negara dengan penerbitan atau penulisan status agama pada e-KTP yang dipunya.
  Dalam diskusi, narasumber film dokumenter pertama turut hadir. Nata yang statusnya masih mahasiswi punya impian menjadi penyuluh atau guru bagi penghayat kepercayaannya. Ia begitu percaya diri bahwa negara bisa memberi rasa aman bagi warga sepertinya yang mengamalkan ajaran rohani dari agama Sapta Darma ini. Sementara Ani Ema sebagai asisten sutradara yang juga hadir dalam diskusi menuturkan bahwa pembuatan film ini sebagai bentuk penghapusan diskriminasi terhadap kepercayaan yang sudah diakui.
   Sayangnya, film dokumenter Puan Hayati tidak memberi tahu awal mula agama Sapta Darma berkembang di Indonesia seperti apa. Penonton masih sulit kenal lebih dekat terhadap narasumber-narasumber yang diminta pendapat. Selain itu, refleksi lintas iman atau kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan Nata juga tak terekspos lebih jelas.
   Beda hal dengan film dokumenter kedua yang telah ditonton. Judulnya Simalakama di Tanah Istimewa. Film ini fokus pada kehidupan etnis Tionghoa di Jogja yang sulit punya hak milik tanah. Mereka selalu dianggap jadi minoritas akibat aturan atau kebijakan yang terjadi pada masa lampau. Para narasumber yang mewakili etnis tersebut seperti Harry Setio (pemilik Paguyuban Budi Abadi), almarhum Willie Sebastian (aktivis Tionghoa yang tinggal di Jogja), Andry Lesmono Bintoro (sekretaris Forum Peduli Tanah DIY), dan Elin Sugianti (Pengusaha sekaligus Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia)
   Fenomena tersebut seperti anomali sosial politik yang terjadi atas instruksi kepala daerah sejak tahun 1975. Untuk mendapat sertifikat tanah saja, mereka selalu terbentur larangan yang menyebutkan bahwa warga dari Asia dan Eropa termasuk Tionghoa tidak boleh memiliki tanah di Jogja. Indikatornya 'kulit putih' dan 'mata sipit' sehingga siapapun yang punya ciri fisik tersebut akan menemui birokrasi berbelit saat menghadap Badan Pertanahan Nasional (BPN) regional Jogja.
   Padahal di Jogja sudah banyak dibangun kelenteng, kawasan pecinan (Kampung Ketandan), dan Bangsal Trajumas. Bahkan, Tan Jing Sing pernah menjadi bupati Yogyakarta keturunan Tionghoa dan setiap perayaan umat besar Konghuchu juga berlangsung meriah. Lantas, mengapa saat mereka ajukan hak tanah ke BPN selalu ditolak?