Â
Dari film tersebut, aku melihat bahwa budaya Kamoro memang harus dipertahankan di tengah deras arus modernisasi. Seorang anak lelaki dari suku Kamoro merasa dibimbing roh leluhurnya untuk kembali memuliakan adat istiadat suku Kamoro dalam ukiran.
Nenek moyang Suku Kamoro selalu dianggap berasal dari pengukir sehingga generasi penerusnya juga harus menjadi sang pengukir.
Ukiran dianggap identitas dari Suku Kamoro karena jiwa semangat dari seorang pengukir terkandung di dalam ukiran yang dipahat.
Para pemuda Suku Kamoro sering berkata "alam itu tubuhku dan jiwa adalah alamku". Suku Kamoro memang dikenal karena cara hidupnya yang semi nomaden. Mereka jago berburu, mengukir, dan menganyam.
Generasi muda Suku Kamoro punya komitmen untuk terus melanjutkan warisan budaya leluhur. Mereka sadar bahwa suatu budaya dalam masyarakat rentan mengalami kepunahan.
Suku Kamoro ini tinggal di wilayah pesisir selatan Pulau Papua, tepatnya di Kabupaten Mimika.
Keseharian mereka yaitu memangkur sagu di dusun (hutan sagu), menangkap karaka (kepiting bakau) di mangi-mangi (hutan mangrove), dan menjaring ikan atau udang di kali (sungai). Sagu, sampan, dan sungai jadi kesatuan yang tak bisa lepas dari kehidupan suku Kamoro.
Dalam bidang seni dan budaya, keahlian Suku Kamoro juga terbukti. Mereka pandai mengukir dan membuat perahu. Dalam tradisi Kamoro, ukir menjadi keahlian sakral yang diwariskan secara khusus melalui garis keturunan.
Selain itu, ukir dianggap semacam doa atau meditasi yang menghubungkan batin pengukir dengan ingatan terhadap alam serta leluhurnya. Beberapa ukiran hanya bisa dibuat sekali untuk kebutuhan upacara adat dan perlu ritual khusus sebelum proses kreatifnya berlanjut.
Jenis-jenis ukiran yang dibuat Suku Kamoro beraneka ragam. Ada Mbitoro (patung leluhur saat ritual adat Karapao), Wemawe (patung manusia), Yamate (perisai), Po (dayung), Eme (tifa atau gendang), dan Tombak.