Sebenarnya sutradara punya ruang yang leluasa saat Ia hendak menyampaikan refleksi evaluasi terhadap masa lalu. Secara subjektif, Ia bisa memaknai dan menafsirkan fakta atau peristiwa sejarah menurut kepentingannya. Ia juga dapat menyampaikan alternatif lain dibalik peristiwa-peristiwa sejarah.Â
Oleh sebab itu, sutradara harus berpikir menjadikan fakta dan peristiwa sejarah sebagai latar belakang karya kreatifnya. Pun sutradara dapat memanfaatkan fakta dan peristiwa sejarah untuk menyampaikan catatan kritisnya atau untuk mengungkapkan peristiwa yang mungkin luput dari catatan sejarah.
Lantaran sutradara menyodorkan sesuatu, maka apa yang disampaikannya melalui bahasa film bisa melihat kemungkinan yang terjadi dimasa mendatang. Otak profit dari tim produksi juga tak boleh mendistorsi skenario berdasar hasil riset. Semua pihak yang terlibat harus bahu-membahu memproduksi kembali film-film sejarah agar lintas generasi lebih cinta terhadap perjuangan bangsanya.
Coba kita tengok kembali kiprah Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail. Beliau menjadikan film sebagai sarana perjuangan, pembentukan karakter bangsa, dan revolusi penguasaan.Â
Saat pasar film nasional dikuasai asing, maka Usmar Ismail dan kawan-kawannya menggeser film asing dengan menempatkan film nasional sebagai tuan di negeri sendiri.Â
Apresiasi tertinggi Usmar Ismail pun akan terjadi pada tanggal 10 November 2021 nanti. Ia akan mendapat gelar pahlawan nasional atas pengabdiannya dalam industri film lokal.
Kini, minim film bertema sejarah. Sudah selayaknya para produser film membuat film sejarah kolosal yang membangkitkan kisah masa lalu kerajaan-kerajaan Indonesia. Keterkaitan antar kerajaan nusantara akan memberi warna pada perfilman nasional yang bisa dibanggakan untuk kancah dunia.Â
Cerita tentang sejarah kerajaan di Indonesia yang masih kurang saat ini juga dipenuhi selera penonton yang terjebak pada film komedi atau horor saja. Para pembuat film seharusnya tak perlu takut lagi untuk memproduksi film sejarah karena alternatif penayangan bisa dipilih dari mana saja.Â
Bila tak laku, tim produksi bisa menjual atau memamerkan film melalui museum-museum yang ada di Indonesia. Bisa juga diadakan nonton bareng keliling komunitas film atau sekolah-sekolah dari Sabang sampai Merauke. Apalagi, festival film dan ruang alternatif pemutaran karya film juga sudah semakin beragam.
Sudah waktunya film Indonesia merestorasi atau memproduksi ulang film-film sejarah untuk membangkitkan gairah menonton generasi muda. Dengan menciptakan film-film perjuangan bercita rasa nusantara, sosok pahlawan bangsa yang menang lawan penjajah sampai gugur di medan perang bisa terbingkai dalam bentuk visual dan audio yang menggetarkan.
Film bergenre sejarah bukan lagi karya baru dalam industri film Indonesia. Film sejarah secara tidak langsung bisa diletakkan sebagai dokumen sejarah atau arsip sosial yang kaya dengan visual dan audio dari suatu kisah masa lalu. Dengan begitu, kajian film tak hanya mengulas persoalan sinematik saja melainkan dapat dikembangkan pada multidimensional ilmu pengetahuan lain.
Film sejarah dianggap tak hanya indah dari sisi sinematografi saja, film harus berpihak pada kemanusiaan. Tonjolkan perjuangan sosok-sosok yang punya pengabdian pada kemanusiaan.Â