Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Perang Sarung, Kisah Masa Kecil untuk Bertarung

17 April 2021   00:18 Diperbarui: 17 April 2021   00:19 4850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Bocah laki-laki selalu ingin menjadi jagoan. Mereka selalu butuh pengakuan supaya dianggap paling hebat dibanding teman sepermainan. Kisah perang sarung yang pernah ada sejak masa cilik dulu, nyatanya masih menjadi kenakalan khas ramadan yang dilakukan para bocah sampai sekarang.

     Euforia ramadan yang hanya datang sekali dalam setahun penuh kenangan. Perang sarung biasa dilakukan setiap ramadan. Ada yang melakukan perang saat orang dewasa sedang melakukan salat tarawih dan ada juga yang mengajak perang setelah selesai salat tarawih. Jika perang di malam itu tak kunjung usai, biasanya perang sarung berlanjut setelah salat subuh. Saat itu, emosi makin memuncak dan perang sarung berubah menjadi perang petasan.

     Beberapa anak wanita yang tomboi juga tak mau ikut ketinggalan. Mereka bawa mukena dan mulai melancarkan aksi perang mukena. Awalnya hanya adu mulut, lama kelamaan tangan bertindak. Sumpah serampah dan nama-nama binatang kerap keluar dari bacot bocah yang belum mengerti arti pertemanan. Mereka lebih senang dengan nuansa permusuhan.

     Perang sarung yang awalnya hanya bentuk permainan, kini dilakukan untuk tawuran. Itulah yang membuatku miris. Terakhir, aku membaca portal berita Tribunnews yang mengabarkan bahwa para pelaku perang sarung ditangkap di daerah Karawang dan Tebet, Jakarta. Semua hanya dipicu karena saling ledek.

Rindu Perang Sarung

     Seingatku, perang sarung bermula saat sekelompok anak bertemu di dalam satu masjid. Awalnya, mereka main bersama. Tapi, emosi anak-anak yang tidak stabil menuntut peperangan digencarkan dengan membentuk kelompok masing-masing. Berhubung aku tinggal di komplek perumahan, tentu lawannya dari anak-anak kampung sebelah.

     "Anak, mana lo?!" Kalimat ini biasa membuka awal perang sarung. Kalau kedua kubu sudah saling mengenal, celotehan berlanjut dengan saling mengejek nama orangtua untuk memancing emosi lawan. Sampai kalimat pamungkas keluar "Lo kata, gua takut? Sini lo maju duluan!!"

     Sarung yang dipakai salat di masjid mulai dijadikan senjata. Ujung sarung diikat lebih tebal sehingga sarung membentuk gulungan. Ibarat bogem, sarung itu terasa keras saat dipukul ke bagian tubuh lawan. Siapa yang bisa menyerang bertubi-tubi sampai sarung lawan rusak, dialah jagoannya.

     Perang sarung ini cukup berbahaya kalau lawan menyerang bagian tubuh tertentu. Beberapa temanku kadang sengaja membawa dua sarung sehingga sarung yang satunya lagi sebagai kostum pelindung diri. Mereka tampil bak ninja sarung yang siap berperang.

     Perang sarung juga bisa mencelakakan diri. Ada yang jatuh saat dikejar, matanya merah terkena sabetan sarung, robeknya sarung, sandal yang putus, dan pecutan-pecutan yang memberi rasa nyeri pada tubuh.

     Kalau aku hanya bermain perang sarung sebatas candaan saja. Tak pernah memasukkan unsur dendam ke dalam permainannya. Biar sajalah disebut nyalinya ciut.

Kenakalan Khas Ramadan yang Tak Bisa Dibiarkan

     Aku tidak ingin kembali ke masa itu. Aku hanya ingin perang sarung disudahi saja karena hanya membuang waktu. Pergeseran persepsi perang sarung di mata anak-anak sekarang tentu terjadi karena degradasi moral anak-anak. Mereka lebih mudah tersulut emosi akibat pengaruh tontonan yang tidak mendidik atau banyak adegan kekerasan.

     Daripada perang sarung dijadikan pelampiasan arogansi semata, mending perang sarung dibuat dalam bentuk aplikasi games saja. Bukankah perang virtual lebih seru untuk membunuh waktu bosanmu?

     Hanya saja kita tak boleh lupa waktu. Permainan dan kenakalan yang telah berlalu biar menjadi cerita masa lalu. Saat ramadan, kita hanya butuh waktu untuk menjaga hablum minallah (hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta) dan hablum minannas (hubungan manusia dengan manusia lain).

     Jadikan waktu ramadan untuk memperbanyak amal bukan membuat kerusuhan. Semoga saja perang sarung tak diwariskan untuk dimainkan dalam kesempatan apapun. Cukup generasi saya saja yang merasakannya, anak dan cucu nanti 'JANGAN!!'

     Baca juga hal-hal lain yang dirindukan saat ramadan:

Perang Sarung, Kisah Masa Kecil (twitter @lilinkubus)
Perang Sarung, Kisah Masa Kecil (twitter @lilinkubus)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun