ESTABLISH. Siang hari, di sebuah rumah sederhana yang ditempati oleh keluarga kecil. Hidup seorang duda beranak satu yang berprofesi sebagai intel. Ia mendidik anaknya dengan penuh ketegasan akan penting suatu kejujuran.
SCENE 1
INT. Kamar Iwan -- Siang
(Iwan)
Di sebuah kamar, tampak seorang pemuda bernama Iwan berusia 22 tahun sedang duduk di hadapan meja belajarnya. Ia mengambil sebuah buku catatan dari tumpukan buku-buku sosial dan hukum. Lalu, Ia mulai membaca lembar demi lembar halaman dari buku tersebut. Wajahnya tampak serius ketika Ia membuka lembaran terakhir yang berisi tulisan kebohongan ke-799. (note: cut in pada tulisan)
Pikirannya langsung menembus batas kenangan hingga Ia memandangi potret-potret masa kecil bersama ibunya yang penuh makna hidup.
Iwan
Ibu, belum lama engkau meninggal. Di akhir hayatmu, kau  berpesan menginginkan ku tuk selalu bermanfaat bagi banyak orang dan berguna bagi bangsa dan negara. Tapi, Bu. Maafkan aku. Mungkin aku tak mampu penuhi janjimu karena bapak terlalu keras dan tegas mengajariku sejak kecil.
Iwan tampak takut karena terngiang masa lalu tentang ucapan sang ayah yang berujar :
--- Insert (Efek audio visual)
Bapak
 "bersikaplah jujur selama hidupmu. Ketika kamu berbohong catatlah kebohongan itu dalam sebuah buku. Jika mencapai 800, lebih baik kamu mati!!!!".
Close Up. Iwan tampak berpikir dan kemudian dia berkata
Iwan
(dengan penuh tekad)
Jika saya sampai melakukan 1 kebohongan lagi, maka saya harus lakukan kebohongan itu demi kebaikan orang banyak.
CUT TO
SCENE 2
INT. Ruang Tamu -- Siang
(Bapak, Kurir)
Bapak (54 tahun) tampak membaca koran yang penuh dengan berita-berita tentang Corona, kriminal, dan politik yang melanda Kota Metropolitan Jakarta.
INTERCUT TO.
** Dari teras rumah, datang seorang kurir yang mengantar sepucuk surat tugas untuk Iwan.
Kurir
(sambil mengetuk pintu)
Surat.. Surat...
Bapak membuka pintu dan menerima surat itu dengan wajah penasaran.
Kurir
(sambil memberi surat dan tanda terima surat)
Permisi, ini ada surat untuk Iwan Yudhistira. Mohon tanda tangannya di sini..
Bapak menandatangani surat itu.
(Note: cut in pada surat dan logo surat PMI)
Kurir
Terima kasih, Pak.
Kurir pergi meninggalkan rumah itu dan Bapak menutup pintu rumahnya.
CUT TO
SCENE 3
INT. Ruang Tamu -- Siang
(Bapak, Iwan)
Sambil beranjak untuk duduk di kursi rumah, Bapak membaca surat dengan penuh penasaran. Ia tampak terkejut ketika membaca tulisan yang menyatakan bahwa Iwan terdaftar sebagai relawan PMI untuk bertugas sebagai tenaga kesehatan di RS. Wisma Atlet yang menangani virus Corona. (Note. Cut in pada tulisan tersebut)
Bapak
(teriak)
Iwaaaaaaaannnnn................
Iwan keluar kamar dengan kaget.
Iwan
Ada apa, Pak??
Bapak
(berdiri di tempat duduknya. Lalu, membanting surat dan berkata dengan emosi)
Surat  apa ini ???... Kamu sudah pintar membohongi Bapak. Ternyata, selama ini, kamu terdaftar sebagai relawan.Â
Anak macam apa kamu ???!!!!
Iwan membaca surat itu dan berkata
Iwan
Maafkan saya, Pak!
Bapak
Ingat kamu!! Bapak membiayai kuliahmu untuk jadi dokter spesialis, bukan untuk kegiatan yang sia-sia seperti itu. Kalau kamu memilih jadi relawan, sama saja kamu menyerahkan nyawamu.
Iwan
Saya akui. Tanpa saya sadari, saya sudah berbohong pada Bapak...
Bapak
(hendak menggampar Iwan)
Saya tidak butuh pengakuan. Yang penting kamu harus tinggalkan aktivitas itu sekarang..
Iwan
(dengan emosi bertambah)
Kebohongan ini saya lakukan demi suatu kebaikan, untuk bangsa yang saya cintai. Jadi relawan bukan hal yang sia-sia.Â
Saya hanya ingin berbuat untuk kepentingan orang banyak. Itu saja!!!
Iwan segera bergegas masuk ke dalam kamarnya. Bapak tampak menahannya, namun Ia keras menentangnya.
CUT TO
SCENE 4
INT. Kamar Iwan -- Siang
(Iwan, Bapak)
CUT TO CUT.
Iwan tampak membereskan pakaiannya ke dalam sebuah tas. Bapak tampak menggebrak pintu kamar Iwan, namun Iwan tak menghiraukannya. Bapak pun beranjak ke ruang televisi untuk mencari sebuah pistol di beberapa laci. Sambil mencari, emosi Bapak masih tetap bergejolak.
Bapak
Iwan, mau kemana kamu?
Kamu mau menentang Bapak?!?
Kamu tidak bisa bersikap seperti ini pada Bapak. Aku ini Bapakmu!!!
Sejak kecil Bapak mengajarimu tentang kejujuran, tapi kini kamu telah membohongi Bapak..
Inikah arti pengabdianmu untuk orangtua.
Apakah selama ini negara yang telah membiayai kehidupanmu???...
CUT TO
SCENE 5
INT. Ruang Tamu -- Siang
(Iwan, Bapak)
Iwan keluar kamar dengan sebuah tas. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti karena mendengar amarah Bapak yang telah meledak.
Bapak
(dengan nada membentak)
Iwan! Jangan pergi kamu!!
Iwan
Bapak tidak punya hak untuk larang saya berbuat kebaikan untuk negeri ini.
Saya mencintai keluarga ini seperti saya mencintai diri saya sendiri dan bangsa ini!!!
Bapak
(sambil mengarahkan pistol ke arah Iwan)
selangkah lagi kamu keluar dari rumah ini, Bapak tembak kamu!!!!
Iwan pun tak menghiraukannya. Ia lantas segera membuka pintu.Â
Akhirnya,....Â
Ennnngggingggennnnggggg.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI