Hilal telah tampak masuk ke dalam rumah.
"Hilal, kamu baru pulang? Kenapa wajahmu ditekuk gitu, Nak?" Wanita paruh baya berkerudung merah muda itu tersenyum menyambut anak lelaki semata wayangnya yang baru pulang kerja. Rasa penasaran seorang Ibu tentu muncul saat melihat ekspresi anaknya bermuram durja saat berpuasa.
"Makanya, jangan mikirin akhwat terus," sindir ibunya. Mimik Hilal berubah merah merona.
"Ah, ibu bisa saja. Akhwat yang mana sih, Bu?"
"Jangan terlalu asyik sendiri. Nanti, dia dilamar lebih dulu oleh sahabatmu" kata Ibu dengan tegas dan membuat wajah Hilal kembali ditekuk.Â
Jujur saja, beberapa calon pendamping hidupnya telah dikenalkan pada ibunya. Harusnya ibu mendukung niat baiknya untuk meminang diantaranya. Tapi, ibunya masih belum menemukan bibit, bebet, dan bobot yang pas dalam pandangannya. Disinilah seharusnya kita belajar empati terhadap barisan para jomblo. Toh, jomblo juga manusia dan selalu ingin dimengerti.
"Nak, ibu paham kok. Semua orang pasti ingin segera dipertemukan dengan jodohnya. Sebelum bertemu, ada baiknya kamu sebut nama jodohmu itu didalam setiap doamu"
Hilal yang sedari tadi menundukkan wajah langsung menengadah begitu mendengar pernyataan dari ibu. Hilal mulai berpikir satu nama yang mungkin sudah diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi makmumnya.
"Hmm... Â cuma wanita itu sulit sekali dimengerti, Bu" Hilal meracau karena pikirannya terasa kacau.
"Hilal, wanita itu tercipta dari rusuk sebelah kiri dekat dengan hati bukan untuk disakiti. Ibu dan wanita lainnya di luar sana layak untuk dikasihi, disayangi, dihormati, dan dicintai. Coba kamu cerna lagi cerita dari Abu Huraira tentang sebuah hadis ... ."