Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Semangat Dunia pada Pameran Seni di Galeri Nasional

29 Agustus 2018   01:33 Diperbarui: 29 Agustus 2018   01:51 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Perempuan Berbusana Wayang Tiongkok karya Basoeki Abdullah (dok. pribadi)

'Galeri Nasional? Tempat apa yaa itu??'

Sebenarnya dari tahun lalu aku sudah mendengar nama tempat ini. Galeri Nasional atau yang disingkat oleh anak zaman now dengan akronim GalNas dikenal sebagai lokasi para pencinta lukisan dan kesenian. Tapi, aku belum pernah sama sekali menjejakkan kaki di tempat itu. Aku hanya terbiasa berkunjung ke Bentara Budaya Jakarta (BBJ) dan Galeri Indonesia Kaya (GIK) untuk sekedar menikmati seni budaya nusantara yang sungguh beraneka.

Maka siang itu di hari Minggu, 19 Agustus 2018 aku mendapat kesempatan untuk masuk ke Galeri Nasional dengan jalur VIP bersama CLICK (CommuterLine Community of Kompasiana). Akses menuju tempat ini cukup mudah karena berseberangan langsung dengan stasiun Gambir. Galeri Nasional yang terletak di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat bisa dijangkau dengan sarana transportasi publik ibukota yang memadai.

Sebagai bagian dari rangkaian peringatan HUT Kemerdekaan RI yang ke-73, Galeri Nasional bekerja sama dengan Kementerian Sekretariat Negara RI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Badan Ekonomi Kreatif mengadakan Pameran Seni Koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Semua lukisan dari Bogor, Cipanas, Jakarta, Yogyakarta, dan Tampak Siring (Bali) telah dikurasi sesuai tema pameran.

Tema yang diusung pada tahun ini bertajuk "Indonesia Semangat Dunia". Pameran ketiga ini juga diselenggarakan dalam rangka memeriahkan perhelatan besar Asian Games ke-18 dimana Indonesia menjadi tuan rumah ajang olahraga terbesar di Asia.

Aspek-aspek usaha keras serta kerja sama dan kooperasi yang baik, juga persaingan yang sehat dan sportivitas merupakan pokok-pokok utama dalam perhelatan olahraga yang menginspirasi tema "semangat" untuk pameran tahun ini.

Pameran dibuka pada Gedung A dari tanggal 3 Agustus 2018 sampai 31 Agustus 2018. Pengunjung bisa mulai masuk arena pameran pada pukul 10.00-20.00 WIB. Pameran ini terbuka untuk umum dan tidak ada pembayaran tiket masuk alias GRATIS.

Sebelum kita masuk gedung pameran, aku dan kompasianer lain wajib menitipkan barang bawaan seperti kunci, jaket, tas, laptop, dan beberapa barang yang dilarang untuk dibawa masuk ke dalam. Pemeriksaan cukup ketat agar keamanan dan kenyamanan pengunjung bisa tetap terjaga. Jika Kompasianer ingin berkunjung ke pameran ini, aku sarankan bisa juga mendaftar online terlebih dahulu melalui website bek-id.com.

Alur registrasi untuk datang ke GalNas
Alur registrasi untuk datang ke GalNas
Siang itu, kami didampingi langsung oleh kurator yang bertugas untuk pameran kali ini. Ibu Watie Moerany menjelaskan dengan penuh sabar atas penyajian 45 karya seni lukis, patung, kriya, kristal, dan arsip. Semua karya seni itu buah karya dari 34 perupa Indonesia dan mancanegara.

Pengunjung lain juga mulai berdatangan, mereka dipandu oleh mahasiswa dan mahasiswi terpilih dari jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia, jurusan Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Para pemandu yang masih berjiwa muda berupaya menjelaskan masing-masing substansi karya seni. Mereka menyampaikan makna tersembunyi dari setiap karya seni yang dipamerkan.

Pengunjung bebas mengabadikan momen selama disana. Hanya saja tidak diperbolehkan menggunakan cahaya kamera atau blitz yang menyala. Satu per satu aku mulai melihat karya seni yang dipamerkan dengan begitu takjub. Ternyata ada 3 garis besar yang dirumuskan dalam pengelompokkan karya pada pameran tahun ini, yaitu:

1. Perjuangan Bangsa yang Bersatu dalam Keragaman

Perjuangan kemerdekaan Indonesia seringkali dilukiskan dalam lukisan sejarah yang menggambarkan kisah perjuangan pada masa Perang Revolusi (1945-1949), seperti yang dapat dilihat oleh pengunjung pada lukisan Tak Seorang Berniat Pulang, Walau Maut Menanti (1963), Potret Panglima Besar Jenderal Sudirman (1954), dan Patung Pejuang Soviet Sang Pembebas (1956).

Lukisan karya Rustamadji menggunakan cat minyak pada kanvas berukuran 137 x 296 cm (dok. pribadi)
Lukisan karya Rustamadji menggunakan cat minyak pada kanvas berukuran 137 x 296 cm (dok. pribadi)
Potret Jenderal Sudirman karya Joes Soepadyo menggunakan cat minyak pada kanvas berukuran 77 x 58,5 cm (dok. pribadi)
Potret Jenderal Sudirman karya Joes Soepadyo menggunakan cat minyak pada kanvas berukuran 77 x 58,5 cm (dok. pribadi)
Patung Pejuang Soviet, Sang Pembebas (karya Pematung Soviet Yevgeny Vuchetich) berbahan perunggu dengan tinggi 82 cm (dok. pribadi)
Patung Pejuang Soviet, Sang Pembebas (karya Pematung Soviet Yevgeny Vuchetich) berbahan perunggu dengan tinggi 82 cm (dok. pribadi)
Mitos dan legenda terkadang juga digunakan untuk mengekspresikan perjuangan kemerdekaan, sebagaimana pengunjung dapat melihat dalam lukisan kisah perkelahian antara Rahwana dan Jatayu memperebutkan Sinta. Rahwana menjadi lambang kolonialisme oleh para penjajah.

Walau banyak muncul intrepretasi bahwa binatang-binatang yang digambarkan Raden Saleh dimaksudkan sebagai pernyataan patriotisme nasionalnya, namun perjuangan lelaki Badawi dalam lukisan Perkelahian dengan Singa (1870) sepertinya lebih memperlihatkan semangat perjuangan pribadinya mempertahankan hidup.

Lukisan karya Basuki Abdullah dengan cat minyak pada kanvas berukuran 157 x 120 cm (dok. pribadi)
Lukisan karya Basuki Abdullah dengan cat minyak pada kanvas berukuran 157 x 120 cm (dok. pribadi)
Lukisan Perkelahian dengan Singa karya Raden Saleh dengan cat minyak pada kanvas berukuran 194 x 271 cm (dok. pribadi)
Lukisan Perkelahian dengan Singa karya Raden Saleh dengan cat minyak pada kanvas berukuran 194 x 271 cm (dok. pribadi)
2. Bergotong Royong, Bersama Bercipta Karya

Tradisi kehidupan bermasyarakat di Indonesia tidak lepas dari semangat yang dikenal dengan gotong royong. Di seluruh Indonesia, rakyat bekerja gotong royong, bahu membahu untuk membuahkan hasil yang lebih besar dibandingkan bekerja secara individu tanpa ada kerja sama satu sama lain.

Di dunia modern, karya cipta memang seringkali merupakan buah tangan individual. Namun, kesuksesan produksi dan distribusi ditentukan seberapa baik upaya kerja sama pihak-pihak yang dibutuhkan untuk ikut terlibat di dalamnya. Kita menjunjung hak cipta, namun gotong royong dan kerja sama tetap diperlukan untuk mendukung keberhasilan cipta karya yang sebaik-baiknya. Semua hal itu tercermin dalam karya seni di bawah ini:

Lukisan Sarinah (karya Wiwiek Soemitro) dan Lukisan Wage Rudolf Supratman (karya Karyono Js.) (dok. pribadi)
Lukisan Sarinah (karya Wiwiek Soemitro) dan Lukisan Wage Rudolf Supratman (karya Karyono Js.) (dok. pribadi)
Lukisan karya Hendra Gunawan dengan cat minyak pada kanvas berukuran 135 x 200 cm (dok. pribadi)
Lukisan karya Hendra Gunawan dengan cat minyak pada kanvas berukuran 135 x 200 cm (dok. pribadi)
Lukisan Legong Wiranata karya Agus Djayasuminta dengan cat minyak pada kayu berukuran 103 x 83 cm (dok. pribadi)
Lukisan Legong Wiranata karya Agus Djayasuminta dengan cat minyak pada kayu berukuran 103 x 83 cm (dok. pribadi)
Lukisan Perempuan Berbusana Wayang Tiongkok karya Basoeki Abdullah (dok. pribadi)
Lukisan Perempuan Berbusana Wayang Tiongkok karya Basoeki Abdullah (dok. pribadi)
3. Menjadi Warga Dunia Menyongsong Masa Depan

Suatu bangsa dan negara tidak dapat lagi mengisolasikan dirinya atau merasa dirinya lebih hebat dari negara-negara lain di dunia. Mau tidak mau suatu bangsa harus melihat dirinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dunia global.

"Tanah air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini!", seru Sukarno. Beliau juga mengingatkan bahwa Gandhi menyatakan, "kebangsaan saya adalah perikemanusiaan" (my nationalism is humanity").

Banyak dari karya yang menjadi koleksi Istana Kepresidenan merupakan bagian dari upaya diplomasi budaya, baik dari negara sahabat kepada Indonesia maupun sebaliknya. Karya-karya seni ciptaan perupa mancanegara yang ditampilkan dalam pameran ini ada yang merupakan pemberian kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat kepada Sukarno, dan ada pula yang dipesan oleh Presiden Sukarno sebagai apresiasinya kepada karya seni perupa negara sahabat itu. Berikut beberapa karya yang menarik perhatianku:

Lukisan anak-anak karya Gustavo Montoya dengan cat minyak pada kanvas 57 x 47 cm (dok. pribadi)
Lukisan anak-anak karya Gustavo Montoya dengan cat minyak pada kanvas 57 x 47 cm (dok. pribadi)
Patung Kepala Perempuan karya Jean-Daniel Guerry dari perunggu dengan tinggi 48 cm (dok. pribadi)
Patung Kepala Perempuan karya Jean-Daniel Guerry dari perunggu dengan tinggi 48 cm (dok. pribadi)
Penari Bali (1964) karya Shinsui Ito menggunakan body color pada kertas berukuran 154,5 x 91 cm (dok. pribadi)
Penari Bali (1964) karya Shinsui Ito menggunakan body color pada kertas berukuran 154,5 x 91 cm (dok. pribadi)
Patung Pemanah (1919) karya Zsigmond Kisfaludi Strobl berbahan perunggu dengan tinggi 225 cm (dok. pribadi)
Patung Pemanah (1919) karya Zsigmond Kisfaludi Strobl berbahan perunggu dengan tinggi 225 cm (dok. pribadi)
Bukan hanya 3 bagian karya seni itu, para pengunjung juga masih bisa melihat arsip-arsip tentang Asian Games 1962 yang pernah berlangsung di Indonesia. Data tentang Asian Games ke-4 yang diikuti 17 negara masih tersimpan rapi. Kala itu, ada 15 cabang olahraga yang dipertandingkan dan cabang olahraga bulutangkis dipertandingkan untuk pertama kali.

Arsip Asian Games 1962 (dok. pribadi)
Arsip Asian Games 1962 (dok. pribadi)
(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Perangko edisi Asian Games ke-4 (dok. pribadi)
Perangko edisi Asian Games ke-4 (dok. pribadi)
Akhirnya, sampai juga aku di penghujung pintu keluar. Sebelum keluar, ada pemberitahuan bahwa akan ada penampilan dari Jakarta Chamber, kuartet musik gesek Universitas Pelita Harapan (UPH). Aku dan teman-teman Kompasianer lain menonton pertunjukkan tersebut sebelum bergegas keluar. Tim musik tersebut mendendangkan lagu-lagu daerah dan nasional. 'Wah, rasanya aku semakin bangga dengan nilai-nilai seni Indonesia', ujarku dalam hati.

Penampilan mini Jakarta Chamber (dok. pribadi)
Penampilan mini Jakarta Chamber (dok. pribadi)
Akhir pekan ke museum akan menjadi agenda hari-hari ku ke depan. Belajar kembali sejarah bangsa dan menjadi saksi bahwa bukti otentik itu masih ada. Kalau bukan kita yang masih muda tidak bersinergi, lantas siapa lagi yang mau memberi apresiasi terhadap karya seni.

"Indonesia Semangat Dunia". Frase itu yang mampu menghidupkan dan menggelorakan semangat yang terpancar dari karya seni yang dipamerkan. Ada nuansa kebangsaan, kreativitas,  sportivitas, dan kerja sama yang lebih luas. Tidak sebatas pada nilai estetika dan resepsi terhadap karya, ada yang lebih dalam tentang menumbuhkan rasa bangga atas persahabatan dan kerja sama budaya antar bangsa yang telah dilakukan oleh Indonesia. 

Perkenalan terhadap budaya nusantara sekaligus memberi semangat kepada masyarakat untuk terus berkreasi dan berinovasi. Ayo, ke GalNas!

Komunitas CLICK foto bersama kurator Pameran Seni Indonesia Semangat Dunia (dok. pribadi)
Komunitas CLICK foto bersama kurator Pameran Seni Indonesia Semangat Dunia (dok. pribadi)
#SalamKreatif

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun