Tapi, takdir sudah menyatakan bahwa Sharifah dan Jaka memang berjodoh. Tak butuh pacaran lama, Jaka melamar Sharifah dan mereka pun menikah karena ada tragedy yang merestui hubungan suci mereka.
Lika-liku cinta tak hanya ada saat masa pertemuan. Ketika menjalin rumah tangga, ada dinamika yang mewarnai pergulatan hati antara suami, istri, dan anak.Â
Sharifah harus belajar memendam rindu setiap kali Jaka bertugas ke luar kota bahkan luar negeri. Andika (Yukio) terus menanyakan kabar ayahnya yang sedang bertugas sebagai tentara.
Bagai pesisir Sejuba yang dihiasi batu-batu besar nan cantik menanti mentari esok hari, Sharifah dan Andika selalu menunggu kepulangan dari belahan jiwa yang tunduk pada negara.
Jujur Prananto, penulis skenario Jelita Sejuba. Ia mampu menulis kisah Sharifah yang mencintai kesatria negara dengan sangat manis. Ada kisah cinta saat perkenalan dan setelah pernikahan, saat menjalani kehidupan dalam bahtera rumah tangga ala tentara. Menjadi istri seorang tentara membuat Sharifah harus kehilangan sosok kepala keluarga.
Sang sutradara, Ray Nayoan, mencoba memahat adegan sesuai slogan "lebih baik pulang nama, daripada gagal dalam tugas". Prioritas utama seorang tentara ditampilkan karena lebih mendahulukan kepentingan negara dibanding berkorban untuk istrinya.
Ada kisah sederhana tentang kekuatan cinta yang bersatu dalam bakti terhadap negara hingga menggugah hati siapa saja yang menontonnya.
Hanya Ray masih terlalu patuh dalam adegan yang seharusnya bisa digarap lebih esensial. Kisah patriotik Jaka saat memenuhi tugas dari negara belum terungkap jelas.
Entah ikut misi perdamaian dunia dengan PBB, atau perang di Afrika, atau justru  pemberontakan yang terjadi di Indonesia. Visual ini tidak terdeskripi lengkap sehingga mengaburkan cerita.
Untung saja Director of Photography (DOP) mampu membentuk sinematografi yang asyik dipandang mata. Beberapa adegan saat Sharifah dan Jaka mengurus berkas-berkas pernikahan terasa mengalir tanpa harus menelan durasi lama.