Kembar buncing itu simbol keseimbangan
Keseimbangan dunia terwujud saat Tuhan menciptakan segala hal dengan berpasangan. Ada lelaki dan perempuan, baik dan buruk, tua dan muda, sehat dan sakit, hitam dan putih, terang dan gelap, serta positif dan negatif. Sosok yang berbeda bukan untuk saling bertentangan, melainkan diperlukan untuk saling melengkapi demi terwujud harmoni yang hakiki. Ada saling ketergantungan untuk mengakui kelebihan dan menutupi segala kekurangan. Sampai akhirnya, kenyataan dan mimpi berada pada garis batas atas dan bawah sehingga hanya yang bertahan di tengah yang bisa melihat keduanya.
Paham yang mempengeruhi prinsip saling bertentangan ini biasa dikenal dengan istilah dualisme. Itulah yang kemudian diramu masuk ke dalam cerita Sekala Niskala. Dengan pengadeganan antara realis dan surealis, film ini bercerita tentang pengalaman hidup yang membuat bulu roma berdiri. Kisah film memperkenalkan Tantra (Gus Sena) dan Tantri (Thaly Titi Kasih), kembar 'buncing' (pria dan wanita) dalam pengalaman spiritual yang sarat dengan kearifan lokal, mitos, cerita rakyat, tradisi, serta budaya Bali
Sebuah desa di Bali menjadi domisili anak-anak berusia 10 tahun yang tinggal bersama ayah (I Ketut Rina) dan ibu (Ayu Laksmi). Konon kembar buncing justru merujuk bisa membawa petaka. Tantra mendadak sakit, kondisinya tak kunjung membaik. Ia sulit untuk menanggapi panca inderanya untuk berfungsi lebih aktif. Harapan pun seakan sirna karena tinggal menunggu ajal yang menjemput tiba. Tantri mulai sedih. Ia kehilangan teman bermain sekaligus saudara kandungnya sendiri. Kebersamaan mereka terusik.
Tantri resah dalam imajinasi. Berulang kali Ia menari di kelam malam ditemani sekelompok anak tak kasat mata. Ia sowan kepada rembulan dan mencurahkan kegundahan dalam dirinya. Ada antusias yang mendalam, ekspresif yang merona, hingga gerakan yang enerjik dalam setiap jejak tarian malam.
Ketika malam tiba di tempat berbeda. Saudara kembar dipercaya bisa membaca pikiran saudara kembar lain. Seolah mereka berkomunikasi melalui telepati. Ini pula yang terjadi antara Tantra dan Tantri.
Film hadir dipenuhi lambang yang menyiratkan emosi tak biasa. Bulan dan telur menjadi perumpamaan yang tidak hanya berfungsi sebagai properti belaka, melainkan masuk ke dalam unsur cerita. Tarian dijadikan media komunikasi untuk tutur cerita. Visual pun indah bagai pemandangan bisu yang digarap oleh sutradara muda berbakat, Kamila Andini.
Kisah fantasi tetap ada. Hanya saja benang merah dianyam melalui tata kostum yang digunakan dalam tarian untuk mengukuhkan eksistensi kebudayaan Bali yang masih bertahan pada tradisi. Beberapa adegan akan menguatkan penonton seperti sedang menyaksikan seni pertunjukan tari di atas panggung.
Olah tubuh yang begitu lentur dan olah vokal yang bernada jujur mengiringi penampilan akting para aktor dan aktris pemeran anak-anak yang sederhana. Kehilangan dalam masa anak-anak mampu terinterpretasi dengan layak meski film lebih banyak diam secara visual. Gerakan pun mengalir tanpa harus berpikir adegan apa yang sedang mereka lakukan. Kekuatan ekspresi menjadi bukti atas keseharian masyarakat yang terjaga dalam kearifan lokal.
Kedua pemeran utama tampak lihai mendalami peran karena sudah terbiasa dalam seni tari. Mereka berhasil membangun simpati penonton untuk tetap duduk di kursi bioskopnya masing-masing. Thaly begitu menawan dan hadir sebagai aktris pendatang baru yang memukau. Kelenturan koreografi yang diajarkan oleh seniman, Ida Ayu Wayan Arya Satyani membuat Thaly terhanyut sebagai Tantri yang menyentuh relung rasa dan menggetarkan jiwa.