Dari senja, kita tahu bahwa matahari akan terbenam. Tapi, matahari seolah menyampaikan kepada bintang untuk menyampaikan kepada bulan agar selalu bercahaya.
Matahari, bulan, dan bintang bisa dideskripsikan dengan karakter Vino (Maxime Bouttier), Gadis (Agatha Chelsea), dan Bagas (Billy Davidson). Mereka hadir dalam kisah cinta bernuansa klasik dalam film Meet Me After Sunset karya sutradara Danial Rifki.
Rumah produksi MNC Pictures menggarap film ini untuk masuk pada genre romance drama segmentasi teen lit. Ada kisah keluarga dan persahabatan yang berjumpa pada hal-hal yang dicintai dalam kehidupan. Semangat kebersamaan berusaha dilekatkan untuk menyadarkan penonton tentang mimpi atau harapan yang ingin dicapai.
Gadis merupakan sosok wanita muda yang berbeda. Ia terlalu asyik dengan dunianya sendiri dan sulit untuk bersosialisasi. Gadis harus memilih aktivitas untuk keluar rumah setelah senja. Dengan hoodie merah sambil membawa pelita, Gadis keluar rumah pada malam hari menuju bukit untuk sekedar membaca buku atau menulis catatan harian.
Suatu hari saat Gadis keluar, Vino melihatnya. Vino merupakan tetangga baru Gadis yang pindah dari Jakarta dan tinggal di Bandung. Tiba-tiba Vino penasaran dengan sosok berjubah itu setiap malam.
Sosok Gadis terungkap saat Vino bersama ibunya yang bernama Vania (Febby Febiola) berkunjung ke rumah tetangganya untuk mengantar kue. Ternyata, tetangga mereka itu Pak Sastra (Izhur Muchtar) yang juga menjadi guru Vino di sekolah. Hal yang lebih mengejutkan ialah Gadis merupakan anak dari Pak Sastra.Â
Kecantikan dan keunikan Gadis membuat Vino mulai jatuh cinta. Ia gencar memberi perhatian sampai Gadis tertarik padanya. Bagi Vino, Gadis menjadi wanita yang layak diperjuangkan untuk mendapat cinta sejatinya.Â
Namun, Vino harus berhadapan dengan Bagas yang lebih protektif. Sahabat Gadis ini telah menjadi malaikat pelindung sejak kecil karena Bagas paham akan kondisi Gadis yang tidak boleh menampakkan diri terkena sinar matahari. Hanya Bagas yang selalu menemani Gadis.Â
Bagas memiliki sikap tertutup namun peduli. Dalam diam, Ia belajar untuk mencintai dan dicintai. Nenek Bagas (Marini Sardi) selalu mendukung hubungan Bagas dan Gadis.
Sementara Vino justru meyakinkan Gadis bahwa Ia lebih menyayanginya. Vino juga berusaha membuktikan bahwa Gadis bisa lebih senang untuk melakukan segala aktivitas bersamanya di siang hari. Vino pun bertekad mewujudkan semua mimpi yang Gadis tulis dalam buku hariannya.
Gadis dilematis. Ia terjebak pilihan sulit yang membingungkan. Ada sosok nice guy dan bad boy yang harus Ia pilih untuk menemani hari-hari selanjutnya dalam kehidupan.
Sisi introvert Gadis justru hanya membuat penyakitnya semakin kritis hingga Vino juga harus melawan penyakitnya yang mematikan. Lantas, Bagas semakin terganggu akan kehadiran Vino yang bisa membahayakan kesehatan Gadis kapan saja.
Penasaran bagaimana akhir cerita cinta mereka?
Cerita yang ditulis oleh Haqi Achmad dan Fatmaningsih Bustamar begitu dinamis. Perumpamaan dari alam dengan deskripsi Vino sebagai sosok bad boy seolah mencerminkan matahari yang memberi ketulusan sinar tanpa pamrih. Gadis bagai bulan yang diterangi oleh matahari. Begitu juga dengan Bagas ibarat bintang yang mengitari bulan dan membuat malam lebih indah. Magical love story pun merangkum filosofi kisah cinta diantara mereka.
Aku sempat berpikir, mengapa tidak diberi judul "Matahari, Bulan, dan Bintang" lebih terlihat metafora dan sesuai dengan visualisasi yang ada. Simbol yang terlihat akan semakin cerdas. Meet Me After Sunset justru kurang memberi esensi terhadap cerita. Bahkan, visual matahari terbenam pun tidak ada yang bagus dipandang mata selama durasi 2 jam 24 menit.
Perpindahan waktu dari pagi, siang, sore, menuju malam juga tidak berjalan dengan mulus. Prolog terasa lambat. Adegan-adegan penasaran Bagas terhadap sosok wanita berjubah merah semakin tidak jelas. Apalagi saat Bagas mengejar dan menunggu wanita yang malah mengenakan mukena berwarna merah.
Jelang babak tengah jalinan hubungan Gadis dan Bagas juga tidak terdeskripsi jelas. Ada tarik ulur emosi, tapi tidak terasa begitu lepas. Begitu juga dengan kehadiran karakter Icha (Margin Wieheerm) yang begitu menyukai Vino. Icha hanya tampak berusaha mendekati Vino saat adegan-adegan di sekolah terutama di kantin sebagai upaya untuk mengundang gelak tawa. Tidak ada keseriusan dalam memberi bumbu asmara. Entah penulis naskah mau fokus terhadap kisah cinta segitiga atau segiempat.
Menurutku, cerita lebih terjalin dengan baik jika memang lebih mengarah ke kisah cinta segiempat supaya bisa menjadikan karakter Icha sebagai bumi atau langit. Lebih lanjut porsi Icha dalam beberapa adegan harus ditambah untuk saling melengkapi.
Meski demikian, kisah cinta dalam film remaja ini tidak mengungkap kasih sayang berdasarkan kontak fisik yang terlalu banyak. Penonton tidak akan menemui drama percintaan yang saling berpegangan tangan, berpelukan, dan berciuman. Ungkapan cinta hanya terwakili melalui ekspresi tatapan mata.
Alur menarik sampai ke akhir karena mengalir tidak biasa. Penyakit dituding sebagai penyelesaian konflik asmara yang tidak terbata-bata. Hanya saja informasi tentang penyakit Xeroderma Pigmentosa dan penyakit jantung yang diderita oleh para pemeran utama tidak terdeskripsi dengan baik. Tidak ada edukasi yang mampu menjelaskan kepada penonton secara eksposisi. Riset cerita seperti kurang mendalam untuk menunjukkan detail-detail ilmiah yang mendukung para penderita penyakit ini.
Dengan unsur kekinian, film juga mampu memasukkan dunia vlogging yang happening dan digandrungi oleh anak zaman now. Dadang (Yudha Keling) sebagai sahabat baru Vino yang berperan menjadi vlogger bisa menghibur penonton. Maklum saja, Ia memang sudah dikenal sebagai stand up comedian sebelumnya.Â
Namun, perkembangan karakter Dadang tidak terlihat signifikan. Misalnya, ada adegan Dadang mengejek Gadis saat berpakaian astronot ke sekolah. Lalu tak ada reaksi dari Vino untuk membela pujaan hatinya. Semua karakter pun terkesan bisa menjadi baik dengan begitu cepat.
Di akhir cerita, Vino juga sempat terlihat membuat video untuk menjelaskan kepada penonton tentang penyakit yang dideritanya. Lantas, sejak kapan Vino juga suka merekam video seperti yang dilakukan oleh Dadang. Begitu juga dengan kejutan yang diberikan oleh Vino kepada Gadis seperti kostum astronot yang tiba-tiba ada di layar lebar dan bisa dikenakan oleh siapa saja. Film kurang memperhatikan pergerakan dari adegan-adegan sebelumnya sehingga visual terkesan sia-sia.
Pemeranan pun semakin membosankan. Pendalaman karakter tidak dilakukan berkelanjutan. Jika dilihat dari kualitas akting, Billy Davidson yang terlihat lebih matang sebagai petugas penjaga penangkaran rusa. Ia berupaya maksimal, meski masih ada adegan yang tidak memberi ruang baginya untuk tetap konsisten.
Sepasang pemeran utama juga tampak kaku dan hanya terlihat mengandalkan penampilan fisik semata. Agatha Chelsea, mantan idola cilik yang menjelma sebagai Gadis berusia 16 tahun terasa hanya tampil seperti putri kecantikan yang penuh fantasi. Begitu juga Maxime Bouttier hanya menjadi bad boy yang terlalu tidak peduli terhadap sosok yang dicintai. Banyak dialog dan gerakan dari Vino yang tidak mampu memberi arti dalam setiap adegan. Chemistry mereka pun dipertanyakan.
Aktor dan aktris senior yang menjadi pendukung juga tampil biasa saja. Berperan sebagai orangtua yang memiliki anak dengan penyakitnya masing-masing, hanya membuat mereka khawatir. Iszur Muchtar, Ida Bagus Made Oka Sugawa, dan Febby Febiola tak terlalu memainkan ekspresi dengan penjiwaan yang membekas dalam ingatan penonton. Bahkan, saat Vania sedang marah malah terlihat seperti orangtua yang lebih mengalah terhadap anaknya. Tidak ada penampilan akting memukau sehingga penonton sulit untuk bersimpati terhadap karakter dan penyakit yang diderita oleh masing-masing pemeran utama.
Tata musik dan suara juga tidak terasa menghanyutkan. Original soundtrack berjudul "Sunset" yang dinyanyikan duet oleh Maxime Bouttier dan Agatha Chelsea kehilangan unsur romansa. Ditempatkan tidak sesuai pada momen-momen dramatis penuh kasih sayang. Begitu juga masih ada suara yang terdengar lebih dahulu dibanding visual. Saat Dendy bilang "Maneh naksir sama Gadis?", visual masih bertahan pada adegan sebelumnya.
Plot memang telah dibuat semenarik mungkin untuk mengecoh penonton. Ada adegan flashback yang terlukis melalui animasi grafis yang manis. Mungkin hal ini disebabkan karena 80% film Meet Me After Sunset menggunakan teknik Computer Generated Image (CGI). Dengan dalih untuk menampilkan peristiwa hujan meteor dan efek kabut kota Bandung.
Nyatanya, visualisasi menjadi semakin fiksi ibarat penonton melihat kisah fantasi dari negeri dongeng. Hujan meteor hanya terkesan seperti bintang jatuh karena tidak tergarap maksimal. Selain itu, adegan saat menangkap kunang-kunang yang kelap kelip ke dalam toples juga terasa kurang bergairah. Meski dibeberapa sisi, unsur CGI mampu membangun mood penonton kembali.
Lebih dari itu, Meet Me After Sunset tidak membuat penonton terus berada dalam dunia dongeng yang penuh keajaiban. Latar tempat tersaji merepresentasi keindahan kota Bandung. Lokasi syuting di daerah Alun-Alun Kota Bandung, Ciwidey, Pangalengan, Padalarang, Ranca Upas, dan Stone Garden mampu terwakili tanpa ilusif.
Film yang diproduseri oleh Edward Chandra ini pun masih layak untuk ditonton. Realitas cerita dibuat sedemikian rupa dengan visualisasi CGI yang berfantasi untuk mata penonton. Analogi matahari, bulan, dan bintang di akhir cerita membuat imaji penonton semakin terbuka. Penonton harus siap melihat ada cinta setelah senja.
Dia matahari hidupku. Mengubahku jadi sesuatu yang baru.
Matahari telah tiada, tapi dia tidak kemana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H