Namun, perkembangan karakter Dadang tidak terlihat signifikan. Misalnya, ada adegan Dadang mengejek Gadis saat berpakaian astronot ke sekolah. Lalu tak ada reaksi dari Vino untuk membela pujaan hatinya. Semua karakter pun terkesan bisa menjadi baik dengan begitu cepat.
Di akhir cerita, Vino juga sempat terlihat membuat video untuk menjelaskan kepada penonton tentang penyakit yang dideritanya. Lantas, sejak kapan Vino juga suka merekam video seperti yang dilakukan oleh Dadang. Begitu juga dengan kejutan yang diberikan oleh Vino kepada Gadis seperti kostum astronot yang tiba-tiba ada di layar lebar dan bisa dikenakan oleh siapa saja. Film kurang memperhatikan pergerakan dari adegan-adegan sebelumnya sehingga visual terkesan sia-sia.
Pemeranan pun semakin membosankan. Pendalaman karakter tidak dilakukan berkelanjutan. Jika dilihat dari kualitas akting, Billy Davidson yang terlihat lebih matang sebagai petugas penjaga penangkaran rusa. Ia berupaya maksimal, meski masih ada adegan yang tidak memberi ruang baginya untuk tetap konsisten.
Sepasang pemeran utama juga tampak kaku dan hanya terlihat mengandalkan penampilan fisik semata. Agatha Chelsea, mantan idola cilik yang menjelma sebagai Gadis berusia 16 tahun terasa hanya tampil seperti putri kecantikan yang penuh fantasi. Begitu juga Maxime Bouttier hanya menjadi bad boy yang terlalu tidak peduli terhadap sosok yang dicintai. Banyak dialog dan gerakan dari Vino yang tidak mampu memberi arti dalam setiap adegan. Chemistry mereka pun dipertanyakan.
Aktor dan aktris senior yang menjadi pendukung juga tampil biasa saja. Berperan sebagai orangtua yang memiliki anak dengan penyakitnya masing-masing, hanya membuat mereka khawatir. Iszur Muchtar, Ida Bagus Made Oka Sugawa, dan Febby Febiola tak terlalu memainkan ekspresi dengan penjiwaan yang membekas dalam ingatan penonton. Bahkan, saat Vania sedang marah malah terlihat seperti orangtua yang lebih mengalah terhadap anaknya. Tidak ada penampilan akting memukau sehingga penonton sulit untuk bersimpati terhadap karakter dan penyakit yang diderita oleh masing-masing pemeran utama.
Tata musik dan suara juga tidak terasa menghanyutkan. Original soundtrack berjudul "Sunset" yang dinyanyikan duet oleh Maxime Bouttier dan Agatha Chelsea kehilangan unsur romansa. Ditempatkan tidak sesuai pada momen-momen dramatis penuh kasih sayang. Begitu juga masih ada suara yang terdengar lebih dahulu dibanding visual. Saat Dendy bilang "Maneh naksir sama Gadis?", visual masih bertahan pada adegan sebelumnya.
Plot memang telah dibuat semenarik mungkin untuk mengecoh penonton. Ada adegan flashback yang terlukis melalui animasi grafis yang manis. Mungkin hal ini disebabkan karena 80% film Meet Me After Sunset menggunakan teknik Computer Generated Image (CGI). Dengan dalih untuk menampilkan peristiwa hujan meteor dan efek kabut kota Bandung.
Nyatanya, visualisasi menjadi semakin fiksi ibarat penonton melihat kisah fantasi dari negeri dongeng. Hujan meteor hanya terkesan seperti bintang jatuh karena tidak tergarap maksimal. Selain itu, adegan saat menangkap kunang-kunang yang kelap kelip ke dalam toples juga terasa kurang bergairah. Meski dibeberapa sisi, unsur CGI mampu membangun mood penonton kembali.
Lebih dari itu, Meet Me After Sunset tidak membuat penonton terus berada dalam dunia dongeng yang penuh keajaiban. Latar tempat tersaji merepresentasi keindahan kota Bandung. Lokasi syuting di daerah Alun-Alun Kota Bandung, Ciwidey, Pangalengan, Padalarang, Ranca Upas, dan Stone Garden mampu terwakili tanpa ilusif.
Film yang diproduseri oleh Edward Chandra ini pun masih layak untuk ditonton. Realitas cerita dibuat sedemikian rupa dengan visualisasi CGI yang berfantasi untuk mata penonton. Analogi matahari, bulan, dan bintang di akhir cerita membuat imaji penonton semakin terbuka. Penonton harus siap melihat ada cinta setelah senja.
Dia matahari hidupku. Mengubahku jadi sesuatu yang baru.
Matahari telah tiada, tapi dia tidak kemana.