"Terkadang kita lupa. Untuk siapa kita mencari rezeki sampai kita mengabaikan keluarga."
Keadaan perekonomian Indonesia yang pernah mengalami krisis moneter di tahun 1998 tidak menjadi rintangan besar bagi seseorang yang memiliki jiwa besar. Meski usaha banyak yang diambang kehancuran, ada sosok wanita tangguh yang justru memulai usaha bernama Keke Busana. Panggil saja wanita itu, Tika Kartika (Acha Septriasa).
Tika yang berprofesi sebagai pegawai kantoran berani menjalani usaha untuk masuk ke industri fashion yang sama sekali baru dalam hidupnya. Kecintaan terhadap usaha yang digeluti membuatnya harus rela kehilangan keharmonisan keluarga. Ia lalai menjadi istri dan ibu bagi kedua anaknya. Sekuat apapun ketegaran Tika, Ia bisa rapuh ketika mengembangkan usaha dan menjalani hidup yang tak seindah mimpinya.
Pengunduran diri dari perusahaan ternama membuat Tika harus menghadapi berbagai persoalan di depan mata. Mulai dari suami yang bernama Fahrul Farid (Ario Bayu) belum mendapat pekerjaan, anak-anak (Shaquilla Nugraha dan Arina Mindhisya) yang harus tetap melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan kehidupan sehari-hari yang harus tetap berjalan meski pasang surut kehidupan kapan saja bisa datang.
Wanita tangguh ini mulai mempopulerkan brand busana muslim khusus anak-anak ke publik. Tika mulai berjualan di Pasar Tanah Abang. Ia selalu bertekad agar barang dagangan yang dijual bisa laku meski harus pulang larut malam sekalipun. Sampai ada adegan lucu saat Tika juga berani berjualan di dalam commuter line sampai diciduk oleh petugas.
Lama-kelamaan kesuksesan berhasil dicapai dari kekuatan mengembangkan industri rumahan. Bermodal pakaian 2 kodi, Tika mampu membuktikan bahwa wanita juga bisa menjadi mandiri dalam menjalani bisnisnya.
Titik sukses mulai diraih saat Tika dipercaya mengikuti Jakarta Kids Fashion Week dan busana muslim dari brandnya akan digunakan untuk fashion show di acara bergengsi itu. Kesibukan semakin bertambah membuat Tika lupa dengan keluarga. Meski Ia pernah sadar bahwa tidak seharusnya pekerjaan menganggu kedekatan dengan keluarga.
Ada kenyataan pahit lain yang harus dihadapi Tika saat suami yang menjadi tulang punggung keluarga juga memutuskan untuk bekerja di luar kota. Saat mengerjakan proyeknya, Farid bertemu Alina (Sheila Dara). Alina tidak hanya hadir sebagai rekan kerja, tetapi juga sebagai wanita pilihan Ibu Farid atas wasiat sebelum ibunya meninggal dunia.
Tika semakin murka. Anak-anak kabur menyusul ayahnya ke luar kota. Prestasi anak-anak menurun drastis di sekolah. Mereka kurang mendapat perhatian dari Tika dan Farid sebagai kedua orangtuanya.
Kesuksesan Tika justru membuat hidupnya sebatang kara. Ia mulai merenungi apa saja yang telah terjadi selama ini. Hanya pembantu yang bernama Ncus (Inggrid Widjanarko) setia menemani. Perjuangan Tika terus berlanjut tak hanya mempertahankan kelangsungan hidup keluarga, tapi juga mengembalikan cinta keluarga kepadanya.
Sebelum dibuat karya film, kisah ini sudah tertuang dalam novel "Cinta Dua Kodi" karya Asma Nadia yang terbit pada tahun 2017. Selain itu, sudah dibuat dalam bentuk film dokumenter oleh sineas muda asal Yogyakarta, Ali Eunoia dan Bobby Prasetyo yang juga dipercaya sebagai sutradara sekaligus penulis skenario untuk versi layar lebar.
Penyutradaraan dalam film ini belum terlihat begitu fokus. Penonton terlalu diarahkan dari berbagai sisi sudut pandang sehingga benang merah tidak mampu menguatkan isi cerita. Di babak awal, penonton diajak mendengar narasi yang menjelaskan seolah cerita diambil dari sudut pandang Fahrul Farid. Menjelang babak akhir, Tika Kartika justru mulai mengambil alih sudut pandang cerita. Film tampak tidak konsisten.
Penonton hanya diajak untuk terpaku pada permainan karakter Bunda yang dibuat terlalu emosional. Acha Septriasa memang berperan sebagai Bunda dengan maksimal. Penonton dipaksa untuk berempati sepanjang film melihat kisah perjuangannya. Hanya saja akting terasa begitu sama seperti di film-film sebelumnya. Tidak ada akting yang spesial untuk membuktikan bahwa Ia menjadi tokoh istimewa dalam film ini.
Penonton kurang bisa mengunyah renyah film. Banyak hal-hal yang hilang dan tidak mendukung alur cerita. Semua terasa dipaksakan hanya untuk memenuhi durasi dan tergilas mesin waktu untuk menembus cerita agar cepat tuntas. Layer cerita yang berlapis pun terlindas durasi yang terbatas.
Pergerakan bisnis tidak diceritakan dengan miris. Modal usaha seperti serba berkecukupan entah tiba-tiba datang dari mana. Padahal unsur dramatis mulai dibangun dengan suami Tika yang pernah berujar sudah tidak memiliki tabungan. Keterampilan menjahit dan para tetangga, seperti Ibu Desi (Mumu Gomez), Ibu Rani (Ryma Gembala), dan Ibu Ros (Tri Yudiman) dari lingkungan sekitar pun langsung hadir memenuhi frame.Â
Mereka tampil hanya sebagai penggembira tanpa mendukung khusus siklus bisnis yang sedang berjalan. Semua berlanjut seperti kisah Dayang Sumbi yang meminta Sangkuriang membuat Tangkuban Perahu dalam waktu semalam. Di film ini tidak ada perkembangan signifikan untuk bercerita tentang perjalanan bisnis yang fluktuatif.
Penceritaan hanya menekankan pada narasi. Beberapa kejadian bahkan berani melompat kesana kemari. Sampai film menyerah dengan adegan-adegan disengaja untuk melengkapi struktur cerita yang ambiguitas. Sebagai contoh kehadiran karakter Alina sebagai pelakor menjadi tidak rapi karena langsung hadir di babak akhir dan menghilang begitu saja.
Cerita menjadi tidak kuat karena banyak aksi atau tindak adegan yang tidak berlanjut. Beberapa adegan tampak tidak ada penyebab sehingga hanya hadir sebagai akibat saja. Misal, saat Bunda Tika bilang bahwa anaknya suka menghitung uang atau anaknya boleh sekolah sejauh apapun yang mereka mau di luar negeri. Namun, tidak ada aksi yang menjelaskan kepada penonton tentang karakter atau pemahaman dari sisi anak yang mendukung perkataan Bunda.
Padahal kedua pemeran anak wanita dalam film ini begitu menggemaskan aktingnya. Mereka mampu bertingkah wajar layak anak seusianya. Film masih lalai membangun sudut pandang dari sisi anak yang identik dengan keong-keong kesayangannya. Awalnya, penulis tidak peduli dengan keong yang menjadi simbol percintaan antara Tika dan Fahrul. Lama-kelamaan keong justru berperan penting dari awal hingga akhir cerita film ini. Terutama saat keong dipelihara oleh anak-anaknya di dalam toples dan diberi label identitas masing-masing anggota keluarga. Penempatan punching line yang menarik, meski minim eksekusi.
Selanjutnya ada tata cahaya yang mengganggu saat adegan di ruang kerja Bunda. Lighting tampak mengeluarkan efek terang seperti sinar matahari saat pagi hari. Namun yang terkesan pada layar bioskop justru tata cahaya terlalu berlebihan (over light).
Nilai-nilai woman empowerment dari Tika Kartika juga menjadi daya tarik selama durasi 1 jam 37 menit. Seorang pejuang mimpi, istri, sekaligus ibu yang harus menghadapi problematika keluarga dalam kehidupan sehari-hari. Sosok Bunda Tika penuh inspirasi karena bisa menjadi teladan dari semangat, ketekunan, pola pikir, cara kerja, dan ketegasannya. Ia mampu menyikapi berbagai masalah dengan bijak sambil memberdayakan lingkungan sekitar untuk berkembang menjadi wanita mandiri.
"Setiap mimpi akan menemukan tantangan yang berusaha mematahkan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H