Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemberdayaan Wanita dalam Film Bunda Kisah Cinta 2 Kodi

15 Februari 2018   16:41 Diperbarui: 15 Februari 2018   16:52 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film Bunda Kisah Cinta 2 Kodi

Press Kit Film Cinta 2 Kodi
Press Kit Film Cinta 2 Kodi
Dalam film perdana Inspira Pictures, Kisah Tika merintis bisnis diproduseri oleh Rendy Saputra. Supervisi produksi juga dipegang oleh sineas senior, Avesina Soebli. Film ini dibalut dalam sentuhan religi dan sudah tayang sejak 8 Februari 2018 lalu.

Sebelum dibuat karya film, kisah ini sudah tertuang dalam novel "Cinta Dua Kodi" karya Asma Nadia yang terbit pada tahun 2017. Selain itu, sudah dibuat dalam bentuk film dokumenter oleh sineas muda asal Yogyakarta, Ali Eunoia dan Bobby Prasetyo yang juga dipercaya sebagai sutradara sekaligus penulis skenario untuk versi layar lebar.

Penyutradaraan dalam film ini belum terlihat begitu fokus. Penonton terlalu diarahkan dari berbagai sisi sudut pandang sehingga benang merah tidak mampu menguatkan isi cerita. Di babak awal, penonton diajak mendengar narasi yang menjelaskan seolah cerita diambil dari sudut pandang Fahrul Farid. Menjelang babak akhir, Tika Kartika justru mulai mengambil alih sudut pandang cerita. Film tampak tidak konsisten.

Penonton hanya diajak untuk terpaku pada permainan karakter Bunda yang dibuat terlalu emosional. Acha Septriasa memang berperan sebagai Bunda dengan maksimal. Penonton dipaksa untuk berempati sepanjang film melihat kisah perjuangannya. Hanya saja akting terasa begitu sama seperti di film-film sebelumnya. Tidak ada akting yang spesial untuk membuktikan bahwa Ia menjadi tokoh istimewa dalam film ini.

Penonton kurang bisa mengunyah renyah film. Banyak hal-hal yang hilang dan tidak mendukung alur cerita. Semua terasa dipaksakan hanya untuk memenuhi durasi dan tergilas mesin waktu untuk menembus cerita agar cepat tuntas. Layer cerita yang berlapis pun terlindas durasi yang terbatas.

Pergerakan bisnis tidak diceritakan dengan miris. Modal usaha seperti serba berkecukupan entah tiba-tiba datang dari mana. Padahal unsur dramatis mulai dibangun dengan suami Tika yang pernah berujar sudah tidak memiliki tabungan. Keterampilan menjahit dan para tetangga, seperti Ibu Desi (Mumu Gomez), Ibu Rani (Ryma Gembala), dan Ibu Ros (Tri Yudiman) dari lingkungan sekitar pun langsung hadir memenuhi frame. 

Mereka tampil hanya sebagai penggembira tanpa mendukung khusus siklus bisnis yang sedang berjalan. Semua berlanjut seperti kisah Dayang Sumbi yang meminta Sangkuriang membuat Tangkuban Perahu dalam waktu semalam. Di film ini tidak ada perkembangan signifikan untuk bercerita tentang perjalanan bisnis yang fluktuatif.

Penceritaan hanya menekankan pada narasi. Beberapa kejadian bahkan berani melompat kesana kemari. Sampai film menyerah dengan adegan-adegan disengaja untuk melengkapi struktur cerita yang ambiguitas. Sebagai contoh kehadiran karakter Alina sebagai pelakor menjadi tidak rapi karena langsung hadir di babak akhir dan menghilang begitu saja.

Cerita menjadi tidak kuat karena banyak aksi atau tindak adegan yang tidak berlanjut. Beberapa adegan tampak tidak ada penyebab sehingga hanya hadir sebagai akibat saja. Misal, saat Bunda Tika bilang bahwa anaknya suka menghitung uang atau anaknya boleh sekolah sejauh apapun yang mereka mau di luar negeri. Namun, tidak ada aksi yang menjelaskan kepada penonton tentang karakter atau pemahaman dari sisi anak yang mendukung perkataan Bunda.

Padahal kedua pemeran anak wanita dalam film ini begitu menggemaskan aktingnya. Mereka mampu bertingkah wajar layak anak seusianya. Film masih lalai membangun sudut pandang dari sisi anak yang identik dengan keong-keong kesayangannya. Awalnya, penulis tidak peduli dengan keong yang menjadi simbol percintaan antara Tika dan Fahrul. Lama-kelamaan keong justru berperan penting dari awal hingga akhir cerita film ini. Terutama saat keong dipelihara oleh anak-anaknya di dalam toples dan diberi label identitas masing-masing anggota keluarga. Penempatan punching line yang menarik, meski minim eksekusi.

Selanjutnya ada tata cahaya yang mengganggu saat adegan di ruang kerja Bunda. Lighting tampak mengeluarkan efek terang seperti sinar matahari saat pagi hari. Namun yang terkesan pada layar bioskop justru tata cahaya terlalu berlebihan (over light).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun