Cinta punya makna berbeda dari sudut pandang masing-masing pribadi. Semiotika tersebut dibentuk atas pengaruh lingkungan dan pengalaman. Seiring hal-hal yang sifatnya menjadi budaya, bukan tak mungkin cinta akan terbentur rasa dan logika sehingga berbanding terbalik untuk mengungkapkan cinta itu seperti apa.
Sebagai produk budaya, film memproduksi dan mereproduksi kebudayaan bangsa. Film sebagai media yang dapat merekam berbagai ekspresi budaya dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Film merupakan salah satu sarana paling efektif dalam mentransmisi dan mewariskan cara maupun pola berfikir dalam suatu masyarakat ke generasi penerusnya.
Produksi film bertema cerita remaja memang memiliki tantangan tersendiri. Ada tingkat kemudahan, karena cerita terbiasa memuat dinamika kehidupan remaja yang digambarkan relatif lebih sederhana dibanding kisah orang dewasa yang kompleks dengan segala problematika. Hanya saja, tim produksi akan mengalami kesulitan jika tidak memiliki sudut pandang tepat yang  ringan untuk menerjemahkan sisi remaja kekinian tersebut secara nyata karena daya pikir remaja begitu kritis.
Perfilman Indonesia sudah banyak mengangkat kisah cinta yang dialami remaja putih abu-abu. Roman picisan dalam kisah cinta anak sekolahan menjadi pakem andalan yang mewarnai aspek tematis dan genrejagat bioskop tanah air. Sebut saja, Ada Apa Dengan Cinta? (2002), Eiffel I'm In Love (2003), Dealova (2005), Realita Cinta Rock 'N Roll (2006), Putih Abu-Abu dan Sepatu Kets (2009), Belum Cukup Umur (2010), Radio Galau Fm (2012), Bangun Lagi Dong Lupus (2013), Refrain (2013), 3600 Detik (2014), Marmut Merah Jambu (2014),  Dear Nathan (2017), Galih dan Ratna (2017), dan yang akan menggebrak bioskop di Indonesia berikutnya yaitu Dilan yang diadapatasi dari novel karya Pidi Baiq.
Dari daftar film-film tersebut yang paling menonjol dan mencuri perhatian penulis yaitu film Posesif. Film perdana yang diproduksi oleh Palari Films ini mengangkat sisi kehidupan remaja belia dari sudut pandang 'mainstream' karena berhasil diframing dalam bentuk narasi ringan yang populer.
Cinta itu tidak selalu terang. Ada sisi gelap yang membuat kelam. Mungkin kita hanya ingin menunjukkan kasih sayang, namun ungkapan yang salah bisa berujung pada bahaya dan mempertaruhkan janji untuk setia bersama.
Seperti yang dialami oleh atlet loncat indah bernama Lala. Kegamangan merasuki hidupnya dalam mencari jawaban atas pertanyaan 'apa artinya cinta?' memberi spekulasi hidup yang penuh idiom. Apakah cinta itu bagai loncat indah, yang bila gagal harus ia coba lagi karena kesetiaan butuh perjuangan? Atau ia harus rela tenggelam dan menyerah pada keadaan entah untuk hal yang sia-sia atau mungkin layak untuk dipertahankan.
Labilisasi di usia 17 tahun pasti dilalui semua remaja di seluruh dunia. Usia yang konon membuat remaja sangat terdorong untuk mengikuti kata hati untuk 'melompat' namun sesungguhnya mereka belum begitu yakin atas keputusan yang harus diambil. Film Posesif memperlihatkan problematik ini dari segi kebetulan yang bisa diatur begitu saja. Tidak harus terbelit dalam kisah drama klasik, ada suspense yang muncul meski pahit. Banyak hal tentang cinta yang begitu takjub sekaligus menakutkan jika dipandang dari remaja zaman now.
Dalam waktu singkat, keduanya langsung melakukan pendekatan dan pacaran. Meski memiliki banyak perbedaan, mereka menjalani masa awal tersebut dengan penuh mesra. Intensitas pertemuan setiap hari memunculkan argumentasi dari suasana yang terjadi. Konsentrasi Lala untuk latihan demi kejuaraan loncat indah mulai terganggu, Yudhis pun semakin menunjukkan watak aslinya tanpa ragu. Dengan hubungan asmara yang semakin dalam, Lala mulai merasakan gejolak didalam dirinya.