Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Selamat! Film "Night Bus" Layak Bawa Pulang Piala Citra

12 November 2017   13:48 Diperbarui: 12 November 2017   13:50 2151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada satu adegan yang sangat menyentuh bagi penulis. Tata cahaya dan suara saat adegan menggampar begitu hidup secara audio visual. Adegan ini terjadi saat seorang seniman menampar komandan tentara ketika bus mereka dihentikan pasukan separatis dan penumpangnya dipaksa turun. Si seniman yang memang diperankan oleh tokoh asli asal Aceh menantang komandan pasukan separatis untuk membalas tamparannya sambil berkata dengan suara terbata-bata, "anak-anak Sampar bukan pembunuh, bukan anak-anak pendendam."

Hanya saja ada adegan yang terlalu dibuat-buat yaitu saat bis harus terpaksa transit karena mereka butuh istirahat dan mandi. Dalam adegan ini, mereka menemukan gubuk kecil dan berhenti sejenak. Awalnya, di tempat ini tidak ada orang, mereka pun mulai memasak sendiri. Lalu, tiba-tiba datang seorang ibu sebagai penjaga warung. Namun kedatangannya penuh misteri karena Ibu enggan berbicara dengan siapapun. Ia beranggapan bahwa perang yang terjadi di kotanya juga akan memusnahkan Ia dan kehidupannya. Kekurangan ini tertutupi dengan perumpamaan dalam dialog yang begitu menarik, seperti 'kenapa mesti mandi kalo nanti kotor lagi?' Dampak perang tidak akan hilang !'.

Serangan ditimpal dengan serangan. Kau garuk punggungku, aku akan gantian menggaruk punggungmu. Jika setiap mata dibalas dengan mata, maka dunia akan buta. Konflik dan pertikaian tidak akan menyelesaikan apa-apa. Apinya akan merembet, membakar semua yang berada di tengah-tengahnya.

Point of view dalam film ini begitu menyayat hati sanubari. Meski dikemas sebagai film anti perang, namun tetap berujung pada kesedihan. Kematian semakin menyedihkan karena tema cerita menargetkan akan kematian orang-orang tak berdosa. Penonton diajak menerka siapa saja yang akan selamat dalam perjalanan menempuh maut.

Tingkat kekerasan dalam film ini begitu menyiksa. Namun, semua adegan terasa sangat membumi. Penampilan akting para tokoh juga berhasil meyakinkan penonton. Dialek dan intonasi bahasa Melayu Deli dan Langkat terdengar pas menjaga komunikasi antar mereka.

Teuku Rifki Wikana layak menjadi aktor terbaik tahun ini. Ia mampu mencuri perhatian penonton sebagai tokoh yang paling vokal. Ia berusaha menjalin hubungan dengan penumpang lain, meski kekuatan emosional terletak bersama supir yang menemukan Bagudung (Hartop Sinaga) di selokan sejak kecil. Ada kalimat humor terselip di sela-sela suasana depresi dan teror yang terlontar dari logat Batak sosok Bagudung.

Tokoh yang diperankan oleh Hana Prinantina juga menjadi sisi yang memberi simpati. Annisa bisa menolong korban dan memberi bentrokan dilematis apakah Ia memilih untuk menolong serdadu atau tidak karena di masa lalu Ia telah diperkosa oleh serdadu. Penonton semakin berempati jika diajak mengingat tindakan asusila tersebut yang pernah menyakitkan hati Annisa. Di tengah teror, Ia bisa saja meluapkan kekesalannya untuk balas dendam. Karakternya dalam film ini tidak begitu banyak dialog namun menyimpan rahasia yang sewaktu-waktu bisa meledak seketika.

Para penumpang memegang pesan moral yang ingin disampaikan kepada penonton. Mereka mampu menyampaikan dengan baik pada setiap cela teror yang terjadi sehingga film ini semakin membuat penonton peduli. Sebagai penonton, kita terlibat didalamnya. Kita mengalami kepanikan dalam guncangan bus yang melanda selama perjalanan. Kita berusaha mengenal penumpang-penumpang lain agar bisa selamat sampai tujuan.

Tidak bisa dihindari bahwa ada beberapa tokoh yang masih belum kuat. Continuity penumpang sempat menjadi lost di beberapa part. Hanya sedikit dari emosi tokoh-tokoh film yang terasa otentik. Seperti wartawan yang tampak licik karena setiap sikap baiknya tidak terlihat tulus. Ada juga muda-mudi yang memiliki hubungan spesial namun dieksekusi agak datar selama pengembangan karakter. Hingga anak kecil yang memang tidak terekspos saat berada di pos pemeriksaan. Anak ini belum menunjukkan kecemasan karena hanya melihat dari balik jendela bus untuk menengok konflik apa yang sedang terjadi di luar.

Meski demikian, dengan gaya art cinema narration, Emil Heradi sebagai sutradara berhasil membuat akhir cerita film ini menggantung. Film berakhir dengan penuh kesadaran. Antara pemberontak dan pemerintah hanya menjadi bagian dari adu domba yang dilakukan pihak ketiga untuk memecah belah suasana. Padahal, pemberontak dan pemerintah selalu berkepentingan menyuarakan cinta damai.

"Conflict doesn't choose its victims"

Film Night Bus telah rilis tanggal 6 April 2017 melalui rumah produksi yang baru dibentuk bernama Night Bus Pictures dengan distribusi yang dilakukan oleh Kaninga Pictures. Dengan mengusung program crowd funding yang bekerja sama dengan Rumah Harapan Foundation, film ini mampu membawa pulang 6 piala citra untuk kategori Film Terbaik, Aktor Terbaik, Skenario Adaptasi Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, Tata Busana Terbaik, dan Tata Rias Terbaik. Film Night Bus pun menjadi film crowd funding ke-4 yang menang di ajang Festival Film Indonesia setelah Demi Ucok, Epic Java, dan Atambua 39o Celcius.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun