'Perang tidak akan terjadi apabila kita tidak memulai dengan gesekan di awal sama sekali'
Rasa ingin menonton muncul lagi setelah film Night Bus berhasil menembus nominasi film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2017. Film yang diproduseri oleh Darius Sinathrya dan Teuku Rifnu Wikana ini memang tidak begitu lama tayang di bioskop, namun bagiku debut film karya mereka layak menjadi yang terbaik diantara nominator film-film lain yang juga sudah penulis saksikan sebelumnya.
Menonton film Indonesia tentang perang tidak selalu menjadi prioritas dalam jadwalku. Mengapa? Karena penulis termasuk salah satu sosok yang cinta damai, tidak suka dengan hal-hal yang bernuansa sadis, apalagi anarkis.
Salah satu film Indonesia yang penulis tonton saat Sekolah Dasar (SD) dulu, yaitu film tentang zaman sekitar tahun 80 hingga 90-an akhir yang bercerita tentang kisah Gestapu (Gerakan Tiga Puluh September)/G-30S PKI. Film ini hampir ditayangkan oleh stasiun televisi swasta sesuai dengan tanggal peringatan momen tersebut setiap tahun. Film perjuangan yang begitu seru, meski aku selalu didampingi orang tua setiap menontonnya hingga habis. Bukan tidak berani, namun ada beberapa adegan kekerasan yang harus diawasi.
Akhirnya, hari Minggu tanggal 9 April 2017 lalu, aku mendapat kesempatan nonton bareng Film Night Bus dari salah satu media online nasional di Pejaten Village Mall. Film ini bercerita tentang konflik di daerah perbatasan. Tepatnya, konflik yang terinspirasi dari kisah nyata di Tanah Rencong. Maka, Genre Film Night Bus yang diangkat bukan action, lebih mendekati thriller, walaupun dibeberapa bagian ada unsur melodrama.
Alkisah latar tempat (setting) dimulai tahun 1999 dari sebuah kota fiktif bernama Rampak yang siap menuju kota Sampar di ujung Pulau Santani. Dikisahkan sebuah bus antar kota yang disebut Bus Babad memberangkatkan penumpang dengan berbagai macam karakter dan motif untuk menuju kota yang dilanda konflik berkepanjangan karena kekayaan hasil bumi yang dimiliki kota tersebut. Kepergian para penumpang menyiratkan masing-masing kepentingan.
Ada seorang wartawan dari ibukota bernama Yuda (Edward Akbar), ada aktivis di NGO (Non-Government Organization) bernama Idrus (Abdurrahman Arif), ada konglomerat alias Orang Kaya Baru (OKB) bernama Umar (Torro Margens) dengan perhiasan emas di manapun hingga di giginya. Ada sepasang kekasih, Mala (Rahael Ketsia) dan Rifat (Arya Saloka) yang penakut. Ada juga seorang dokter perempuan berjilbab dengan logat asli daerah tersebut bernama Annisa (Hana Prinantina), ada seniman tuna netra bernama Luthfy (Agus Nur Amal) yang hampir sepanjang dialognya diuntaikan dalam nada positif, dan ada seorang nenek bernama Nur (Laksmi Notokusumo) yang didampingi seorang cucu perempuan bernama Laila (Keinaya Messi Gusti). Semua karakter begitu hidup secara visual menyentuh sisi traumatis dari masing-masing tokoh.
Para penumpang tersebut memiliki tujuan masing-masing. Ada yang ingin pulang dan bertemu dengan keluarga di Sampar, ada yang ingin berziarah ke makam anak yang baru meninggal, ada yang ingin menyelesaikan urusan pribadi serta mencari penghidupan yang lebih layak dengan rencana melamar kerja ke perusahaan tambang nasional yang kebetulan terdapat di kota Sampar, dan masih banyak lagi tujuan lain. Namun, mereka harus melalui perjalanan menantang maut di bus malam yang mereka tumpangi.
Perjalanan dalam bus yang menempuh waktu 12 jam melewati seluk beluk rimbun perbukitan Sumatera begitu mempesona dan elok dipandang mata. Akan tetapi, keindahan itu hanya dinikmati sementara. Ketika malam menjelang, mulai terjadi berbagai aksi yang membuat penonton menarik napas, berempati, dan terhanyut dalam pertaruhan ketegangan.
Kisah penuh tragedi dimulai. Perjalanan Bus Babad memasuki adegan demi adegan mencekam yang diliputi emosi ketakutan. Sepanjang perjalanan, penonton akan melihat kisah yang saling berkaitan dipandu sudut pandang masing-masing karakter terhadap konflik atau perang antar golongan yang sedang terjadi disekitar. Meski kita sadari bahwa Bus Babad itu sebenarnya membawa penumpang yang tak bersalah. Mereka hanya korban dari pertikaian yang ditemui selama perjalanan hingga mengancam nyawa mereka masing-masing.
Nyala api menyulut teror yang semakin menegangkan. Dimulai dari sosok pria pemberani dan pembawa pesan bernama Mahdi (Alex Abbad) yang bersimbah darah dan nyaris ditabrak kemudian diangkut masuk ke dalam bus. Diduga Ia termasuk ke dalam tentara yang sudah semaput dan merupakan salah satu anggota pasukan separatis SaMerka (Sampar Merdeka).
Awalnya, Mahdi menunjukkan karakter cukup bersahabat, terutama dengan nenek Nur dan Laila yang seolah punya ikatan batin begitu kuat. Mahdi memberi Laila berupa seutas kalung dari tali kulit dengan sebuah pesan perdamaian di dalamnya yang ditujukan kepada Panglima Samerka (Lukman Sardi). Ia menyerahkan kalung itu karena Mahdi diburu oleh pihak yang bertikai, termasuk oleh gerombolan bandit keji yang memanfaatkan situasi konflik. Apa yang terjadi selanjutnya, secara mendadak Mahdi langsung menghunus senjata pisau ke semua penumpang dan meminta harta para penumpang untuk dibawa lari dari dalam bus hingga Mahdi bisa melepaskan diri atas teror yang bertubi-tubi.
Sang kernet, Bagudung (Teuku Rifnu Wikana) dan supir, Amang (Yayu Unru) yang sudah saling mengenal dan sering melakukan perjalanan dalam bus langsung mengambil inisiatif untuk mengenyahkan Mahdi ketika bus memasuki pos perbatasan yang dijaga ketat oleh pasukan tentara nasional. Setelah itu, adegan demi adegan baku hantam yang menegangkan plus mengerikan terus terjadi hampir sepanjang film. Berawal dari konflik dengan tentara nasional, lalu dengan tentara separatis yang mereka temui saat bus lolos dari pos perbatasan, hingga pada puncaknya para pasukan provokator yang mencegat bus di tengah kegelapan malam.
Hampir setiap dua jam sekali, bus dihentikan di tengah jalan dan di-sweeping bergantian oleh dua pihak yang bertikai, yaitu kelompok separatis Samerka (Sampar Merdeka) dan aparat pemerintah. Beberapa momen semakin menarik untuk ditonton.Formula cerita perang tampak bagus menyentuh sisi keabuan dari kemanusiaan. Perang diibaratkan tidak memiliki manfaat. Ada salah satu pasukan separatis meminta untuk ditembak. Ada juga momen para pelaku perang seolah terjatuh dalam beban moral karena dilema yang membayangi mereka. Semua dibangun begitu extend diiringi musik yang terdengar 'lantang'.
Menuju babak selanjutnya, penonton diajak melihat momen yang lebih dramatis. Kelompok pemberontak yang muncul menjadi hambatan di jalan semakin jahat. Dilema moral yang diungkap dari awal, hanya diberi kepada penumpang bus (orang-orang sipil) yang notabene korban perang. Penonton pun semakin iba karena turut serta dalam medan pertempuran yang bahaya.
Tata cahaya juga sengaja dibuat terlalu gelap untuk memaksimalkan kelam malam yang mencekam. Didukung teknik kamera yang shaking sebagai motif sekuens aksi yang lebih dekat kepada penonton. Tata produksi film ini begitu mengesankan. Potret konflik menarik dengan eksekusi fakta bertutur yang menyerahkan kepada penonton untuk menyusun kepingan puzzle yang begitu rumit mampu membuat penonton tegang.
Penulis juga suka naik kendaraan umum lantaran saat berada di transportasi publik ini, penulis selalu mendapat pengalaman tersendiri melihat tingkah laku penumpang lain. Saat menonton Film Night Bus, penulis bisa merasa jadi bagian dari penumpang bus Babad yang dipenuhi teror.
Penulis bisa merasakan ada penyusup di dalam bus tersebut, gencatan senjata yang terekam baik hingga kematian yang menghampiri satu per satu hampir seluruh penumpang di dalamnya. Siapa saja yang tersisa, siapa saja yang selamat hingga tujuan, dan apakah pesan itu berhasil disampaikan, membuat penonton bertanya-tanya hingga akhir film.
Ada satu adegan yang sangat menyentuh bagi penulis. Tata cahaya dan suara saat adegan menggampar begitu hidup secara audio visual. Adegan ini terjadi saat seorang seniman menampar komandan tentara ketika bus mereka dihentikan pasukan separatis dan penumpangnya dipaksa turun. Si seniman yang memang diperankan oleh tokoh asli asal Aceh menantang komandan pasukan separatis untuk membalas tamparannya sambil berkata dengan suara terbata-bata, "anak-anak Sampar bukan pembunuh, bukan anak-anak pendendam."
Hanya saja ada adegan yang terlalu dibuat-buat yaitu saat bis harus terpaksa transit karena mereka butuh istirahat dan mandi. Dalam adegan ini, mereka menemukan gubuk kecil dan berhenti sejenak. Awalnya, di tempat ini tidak ada orang, mereka pun mulai memasak sendiri. Lalu, tiba-tiba datang seorang ibu sebagai penjaga warung. Namun kedatangannya penuh misteri karena Ibu enggan berbicara dengan siapapun. Ia beranggapan bahwa perang yang terjadi di kotanya juga akan memusnahkan Ia dan kehidupannya. Kekurangan ini tertutupi dengan perumpamaan dalam dialog yang begitu menarik, seperti 'kenapa mesti mandi kalo nanti kotor lagi?' Dampak perang tidak akan hilang !'.
Serangan ditimpal dengan serangan. Kau garuk punggungku, aku akan gantian menggaruk punggungmu. Jika setiap mata dibalas dengan mata, maka dunia akan buta. Konflik dan pertikaian tidak akan menyelesaikan apa-apa. Apinya akan merembet, membakar semua yang berada di tengah-tengahnya.
Point of view dalam film ini begitu menyayat hati sanubari. Meski dikemas sebagai film anti perang, namun tetap berujung pada kesedihan. Kematian semakin menyedihkan karena tema cerita menargetkan akan kematian orang-orang tak berdosa. Penonton diajak menerka siapa saja yang akan selamat dalam perjalanan menempuh maut.
Tingkat kekerasan dalam film ini begitu menyiksa. Namun, semua adegan terasa sangat membumi. Penampilan akting para tokoh juga berhasil meyakinkan penonton. Dialek dan intonasi bahasa Melayu Deli dan Langkat terdengar pas menjaga komunikasi antar mereka.
Teuku Rifki Wikana layak menjadi aktor terbaik tahun ini. Ia mampu mencuri perhatian penonton sebagai tokoh yang paling vokal. Ia berusaha menjalin hubungan dengan penumpang lain, meski kekuatan emosional terletak bersama supir yang menemukan Bagudung (Hartop Sinaga) di selokan sejak kecil. Ada kalimat humor terselip di sela-sela suasana depresi dan teror yang terlontar dari logat Batak sosok Bagudung.
Tokoh yang diperankan oleh Hana Prinantina juga menjadi sisi yang memberi simpati. Annisa bisa menolong korban dan memberi bentrokan dilematis apakah Ia memilih untuk menolong serdadu atau tidak karena di masa lalu Ia telah diperkosa oleh serdadu. Penonton semakin berempati jika diajak mengingat tindakan asusila tersebut yang pernah menyakitkan hati Annisa. Di tengah teror, Ia bisa saja meluapkan kekesalannya untuk balas dendam. Karakternya dalam film ini tidak begitu banyak dialog namun menyimpan rahasia yang sewaktu-waktu bisa meledak seketika.
Para penumpang memegang pesan moral yang ingin disampaikan kepada penonton. Mereka mampu menyampaikan dengan baik pada setiap cela teror yang terjadi sehingga film ini semakin membuat penonton peduli. Sebagai penonton, kita terlibat didalamnya. Kita mengalami kepanikan dalam guncangan bus yang melanda selama perjalanan. Kita berusaha mengenal penumpang-penumpang lain agar bisa selamat sampai tujuan.
Tidak bisa dihindari bahwa ada beberapa tokoh yang masih belum kuat. Continuity penumpang sempat menjadi lost di beberapa part. Hanya sedikit dari emosi tokoh-tokoh film yang terasa otentik. Seperti wartawan yang tampak licik karena setiap sikap baiknya tidak terlihat tulus. Ada juga muda-mudi yang memiliki hubungan spesial namun dieksekusi agak datar selama pengembangan karakter. Hingga anak kecil yang memang tidak terekspos saat berada di pos pemeriksaan. Anak ini belum menunjukkan kecemasan karena hanya melihat dari balik jendela bus untuk menengok konflik apa yang sedang terjadi di luar.
Meski demikian, dengan gaya art cinema narration, Emil Heradi sebagai sutradara berhasil membuat akhir cerita film ini menggantung. Film berakhir dengan penuh kesadaran. Antara pemberontak dan pemerintah hanya menjadi bagian dari adu domba yang dilakukan pihak ketiga untuk memecah belah suasana. Padahal, pemberontak dan pemerintah selalu berkepentingan menyuarakan cinta damai.
"Conflict doesn't choose its victims"
Film Night Bus telah rilis tanggal 6 April 2017 melalui rumah produksi yang baru dibentuk bernama Night Bus Pictures dengan distribusi yang dilakukan oleh Kaninga Pictures. Dengan mengusung program crowd funding yang bekerja sama dengan Rumah Harapan Foundation, film ini mampu membawa pulang 6 piala citra untuk kategori Film Terbaik, Aktor Terbaik, Skenario Adaptasi Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, Tata Busana Terbaik, dan Tata Rias Terbaik. Film Night Bus pun menjadi film crowd funding ke-4 yang menang di ajang Festival Film Indonesia setelah Demi Ucok, Epic Java, dan Atambua 39o Celcius. Â
Dari situ film Night Bus berkembang dalam bentuk skenario yang disusun oleh Rahabi Mandra. Namun, film ini tidak secara langsung memilih nama daerah sebenarnya. Sampar dibuat sebagai kota fiksi karena tim produksi tidak ingin menyinggung salah satu pihak yang ada di kehidupan nyata.
Akhirnya, Film Night Bus bisa menjadi refleksi karena diinspirasi dari bus malam yang biasa melewati Provinsi Sumatera Utara menuju Aceh di era darurat militer tahun 2002-2005 saat pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dahulu penumpang bis yang beretnis Jawa akan disweeping KTP oleh kelompok GAM asli Aceh. Etnis Jawa dipandang sebagai representasi penguasa di Indonesia, khususnya di Aceh. Kejadian ini terjadi setelah Krisis Moneter di tahun 1998 dan jatuhnya orde baru. Tindakan militer banyak dilakukan di Aceh, Maluku, dan Papua karena beberapa pihak trauma atas lepasnya Provinsi Timor-Timur menjadi Negara Timor Leste.
Dilatarbelakangi situasi unik tersebut memberi begitu kesegaran atas variasi genre film Indonesia dengan original look yang manusiawi. Selain bertujuan untuk menghibur, film ini membawa pesan penting menjaga persatuan dan keutuhan bangsa demi menghindari konflik yang tentu akan menimbulkan korban, kerugian dan kehancuran. Film Night Bus berisi dengan nilai lokal yang kuat mampu menyentuh penonton melalui cerita mencekam tentang perspektif penumpang terakhir yang membawa pesan kemanusiaan dan perdamaian.
Night Bus Movie had flaws on some tech aspects yet billed over rare themes and effective acts, Night Bus is a well constructed edge-of-your-seat suspense!. Night Bus is one of a kind film that we rarely see in Indonesian thriller genre. Sure it's very important to watch!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H