Ben tidak terima dengan realita bahwa Tarra merupakan putri dari pengusaha yang menggusur ladang kopi milik orang tuanya. Tidak hanya itu, Ben juga terjebak dalam emosi yang kuat antara dendam dan ketertarikan hatinya pada Tarra. Penonton bisa menebak dengan mudah kerumitan kisah ini.
Dalam situasi tersebut, Jody mengajak Tarra ke Makasar untuk urusan pengembangan usaha Filosofi Kopi. Berkali-kali Tarra mencoba menghubungi Ben tapi tak berhasil. Hingga Jody menceritakan kisah sebenarnya pada Tarra, bahwa Ben punya masalah dengan ayah Tarra. Mereka bercerita di sebuah pendopo kebun kopi di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan.
Beralih dari Tanah Toraja. Di Jakarta, Ben sangat fustrasi dengan persoalan yang dialaminya. Hingga akhirnya, ia berhasil menumpahkan curahan hatinya pada Brie, sosok perempuan yang awalnya tidak disukai oleh Ben. Ia bercerita tentang lahan kopi orang tuanya, alih fungsi lahan dan penggusuran yang dilakukan perusahaan ayah Tarra.
Pada akhirnya, Ben memutuskan untuk meninggalkan Filosofi Kopi. Ben dan Brie yang merajut perasaan satu sama lain pergi ke Lampung untuk mengurus bibit kopi warisan ayah Ben, sementara Jody dan Tarra tetap di Jakarta untuk meneruskan usaha kedai Filosofi Kopi.
   * * * * *
Filosofi Kopi 2 hadir sebagai tayangan audio visual yang dekat dengan keseharian. Menonton film ini bagai meneguk secangkir kopi. Entah rasa apa yang terkecap lidah saat merasakan seruputan kopi tersebut. Namun, sebagai penonton, aku merasa bahwa Filosofi Kopi 2 menjadi tanpa rasa alias hambar.
Sekuel kedua kisah Ben dan Jody masih sama dengan yang pertama. Hanya saja filosofi cerita tidak sekuat dari kisah yang awal. Seolah tak ada benang merah atau tujuan untuk membawa pesan film ini ke mana. Entah tentang persahabatan, percintaan, atau filosofi kopi itu sendiri yang masih menerawang.
Berdasarkan sub judul Filosofi Kopi 2: Ben & Jody memang menyentak untuk fokus terhadap tema utama yang lebih menyentuh sisi pribadi. Mereka terlahir untuk menemukan persepsi kembali agar kedai Filosofi Kopi tidak pernah berhenti menjangkau pecinta kopi itu sendiri.
Lama-kelamaan alur cerita dibalut sedemikian rupa hingga tampak luntur filosofi dari setiap adegan. Sebagai penonton, aku seolah melihat tayangan sinetron yang diputar di bioskop. Gaya bercerita ini pun semakin monoton karena adegan selanjutnya dapat dengan mudah ditebak oleh penonton. Tutur cerita yang berbelit-belit seakan menyajikan kopi tanpa susu atau gula kepada penikmat setia tayangan layar lebar.
Wajar saja ketika cerita tidak bisa fokus bertutur. Kisah lanjutan Filosofi Kopi 2 memang ditulis oleh pemenang kompetisi ide naskah terpilih. Terlihat sensibilitas terhadap esensi cerita pertama begitu beda. Sentuhan cerita pun tak mampu berkontribusi untuk membangun kisah ini dengan ekspetasi tinggi.