Ia pun mulai memamerkan karya batik dalam balutan fashion show motif Batik Pekalongan yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Motif batik ini memiliki kesan tesendiri karena ada nilai historis didalamnya melalui berbagai pergolakan dan peristiwa. Filosofi motif tersebut bisa mengungkap masa lalu yang tergores dalam rangkaian titik-titik cantingnya.
Warna biru pada Batik Pekalongan cenderung alami. Warna ini diambil dari proses fermentasi daun nila yang dalam bahasa latin disebut Indigofera Tinctoria. Maka, kecerahan warna indigo ini tampak begitu halus menyetuh rasa bagi siapa saja yang mengenakannya.
Siapa yang tidak mengenal kota Pekalongan. Kota yang mendapat julukan sebagai Kota Batik karena memiliki Industri Kecil Menengah (IKM) Batik sebanyak 12.475 unit dan menyerap sekitar 88.670 tenaga kerja.
Maka, dalam acara yang penulis hadiri tersebut juga secara khusus diluncurkan Buku “Batik Pekalongan: Dari Masa ke Masa” karya Budi Mulyawan. Buku ini mendapat dukungan penuh dari BCA.
Buku ini diharapkan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap batik (DokPri)
Dimulai dari Batik Pekalongan, pertumbuhan industri kreatif ke depan pun diharapkan menjadi primadona di kalangan generasi muda. Apalagi, telah ada Universitas Pekalongan yang menjadi universitas pertama dengan orientasi peminatan jurusan khusus mata kuliah Batik. “Jurusan ini sudah memiliki 20 mahasiswa lokal yang serius ingin belajar membatik. Selebihnya jurusan ini justru lebih diminati para mahasiswa yang berasal dari Negara Brunei Darussalam. Sebagai bagian dari generasi muda, kita tidak boleh kalah saing dengan generasi muda dari negara lain”, ujar Bapak Suryani sebagai Rektor Universitas Pekalongan.
Salah satu contoh motif Batik Pekalongan (DokPri)
Sudah seharusnya keanekaragaman budaya Indonesia menjadi simbol identitas bangsa yang bermoral. S
ense of belonging (rasa kepemilikan) dan
sense of responsibility (rasa tanggung jawab) sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus diperkuat. Untuk menjadi Indonesia, seluruh elemen bangsa harus bangkit tampil sebagai
trendsetter dalam konteks nasional hingga
go international demi memperkenalkan budaya yang ada.
Kondisi demikian diperlukan agar tidak ada budaya sebagai hasil kekayaan kita yang diklaim oleh negara lain. Jangan sampai, kesadaran kita akan berbudaya hanya ada pada event-event tertentu saja. Tak pernah ada kata terlambat, karena hal ini akan menjadi kebanggaan terhadap produk kebudayaan yang kita miliki.
Hilangkan gengsi untuk mengikuti tuntutan zaman yang ada. Para generasi milenial sudah selayaknya tampil kekinian dengan produk budaya lokal. Jangan sampai ada kekhawatiran serta keengganan untuk unjuk gigi saat mengenakan batik. Jangan pernah malu dibilang “katrok” demi mengangkat produk budaya lokal seperti batik agar batik selalu diakui dunia sebagai warisan budaya Indonesia.
Lelaki membatik? Why Not?! (DokPri)
Generasi milenial harus mampu berinovasi dengan budaya asli yang dimilikinya. Upaya mempertahankan budaya menjadi bagian dengan terus menggali dan mengembangkan batik dalam segi autentik. Minimal dengan membeli batik asli dan buatan bangsa sendiri. Hal ini sebagai upaya memelihara kekayaan budaya bangsa dan menjunjung tinggi kekayaan intelektual yang hakiki. Jika membeli Batik, teliti terlebih dahulu agar tidak terjebak dengan membeli
batik printing yang diproduksi oleh bangsa lain yang kualitas dan kedalaman maknanya kurang dan tidak menginterpretasikan Indonesia. Ingat, batik yang kita beli tidak boleh meninggalkan akar budayanya.
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya