Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tradisi, Poligami, dan Edukasi dalam Film Kartini

19 April 2017   17:56 Diperbarui: 19 April 2017   22:47 6309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot Trailer Kartini (DokPri)*

    Sutradara berhasil mengarahkan para pemainnya untuk tampil dalam jiwa sesuai tuntutan cerita. Hanung Brahmantyo mencoba mengarahkan pemain untuk masuk ke dalam intrepretasi karakternya. Dari semua karakter, penulis sangat terkesan dengan chemistry Dian Sastrowardoyo dan Christine Hakim sebagai anak dan ibu kandung. Dengan bahasa Jawa yang fasih dan sangat menguasai peran, Christine Hakim mampu memancing Dian Sastrowardoyo untuk mengeluarkan emosi sebagai anak yang memberontak terhadap ketidakadilan.

    Sebagai Ibu kandung, Ngasirah membebaskan Kartini begitu mudah untuk keluar kamar saat terkurung dalam kondisi kegelapan atas tindakan ibu tirinya. Kartini diajak oleh ibu yang melahirkannya tersebut menuju danau sambil merenungi nilai-nilai luhur budaya Jawa yang tidak diajarkan dalam edukasi modern. Dalam budaya Jawa, jika ingin menaklukkan seseorang bukan dengan membantah atau melawan tapi dengan memangku atau mengorbankan ego pribadi.

    Walaupun adegan ini terkesan disisipkan dan menjadi titik balik yang disengaja. Christine Hakim mampu menyikapi adegan ini dengan penghayatan emosi yang mendalam. Ia berhasil mengingatkan Dian Sastrowardoyo tentang nilai tradisi lokal yang harus tetap menjadi identitas diri agar tidak luntur karena semua proses perjuangan butuh pengorbanan. Komunikasi ibu dan anak ini pun terbangun seperti kita menyaksikan film Pasir Berbisik.

    Selebihnya Nova Eliza yang berperan sebagai Christine Hakim muda juga tampil natural di awal film dengan dukungan penampilan fisiknya yang pas. Adinia Wirasasti yang berperan sebagai Soelastri (kakak dari Kartini) juga mampu mencuri perhatian sekilas meski tak tergarap dengan pas. Lalu, raut wajah Djenar Maesa Ayu yang berperan sebagai ibu tiri juga turut membantu penonton untuk menafsirkan setiap adegan. Sumbangsih akting mereka memberi warna tersendiri untuk film ini.

    Citra modern justru diperlihatkan Dian Sastrowardoyo sebagai Kartini lewat gestur dan bahasa tubuhnya. Mimiknya masih tak bisa menyembunyikan karakter sejatinya sebagai Cinta di awal tahun 2000an. Hanya bedanya, Cinta lebih terbiasa dengan adat Jawa yang melekat dalam balutan sanggul dan kain. Cara bicaranya masih kurang halus dan cara interaksi dengan yang lain tidak begitu dihayati. Hanya sedikit penekanan logat Jawa medhok dibeberapa bagian dan cara berjalan yang memang harus dipelajarinya sebagai Raden Ayu.

     Tapi, selebihnya amat terkesan modern. Usianya yang sudah masuk kategori ‘orangtua’ juga dicibir oleh netizen yang tak merepresentasi Kartini muda. Dian Sastrowardoyo makin tidak terasa jiwanya sebagai Kartini dengan segala kompleksitasnya yang kita rasakan diberbagai surat tulisan Kartini semasa hidupnya.

     Pendalaman karakter Kartini yang meleset dengan segala konsep dan karakter yang diharapkan penulis juga diikuti oleh karakter lain, seperti Reza Rahardian yang berperan sebagai sosok kakak laki-laki yang begitu jenius. Sebagai medium pemberi pesan terhadap Kartini dan penonton, Reza yang tampil sesaat tak sanggup menjadi cameo yang memiliki totalitas. Deddy Sutomo dengan jenggot palsunya juga masih belum tampil apa adanya dan Denny Sumargo yang berperan sebagai Slamet terkesan datar tanpa memainkan emosi sesuai karakter yang diperankannya. Rianti Cartwright pun sebagai Wilhelmina tampil tenggelam di garis batas kualitas nama-nama pemeran pendukung lainnya yang selalu diperhitungkan dalam jagat perfilman nasional.

“Tubuh boleh terpasung, tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya”.

     Setelah menonton film ini, status Kartini sebagai seorang pahlawan nasional tidak bisa dijadikan rujukan untuk bicara tentang perjuangan kaum perempuan dan gerakan feminisme. Membicarakan kesahihan Kartini sebagai pahlawan nasional pun akan mengalami kontroversi terhadap standar kepahlawanan itu sendiri.

     Film Kartini seakan membatasi bahwa Kartini menjadi seorang penulis surat yang hanya mengandalkan korespondensi. Lalu, menularkan budaya literasi dengan membaca buku dan belajar bersama golongan Belanda hingga terjun ke masyarakat sekitar untuk membangun peradaban yang begitu cepat. Entah tampak konsisten atau tidak, benang merah yang dirajut dengan makna edukasi masih minim digarap dalam film ini.

     Sebagai penonton, aku hanya bisa melihat Kartini sebagai pendobrak tradisi dan poligami karena tema tersebut yang lebih diangkat dalam intrepretasi sutradara.  Hanung seolah mempertemukan antagonisme dan egoisme yang tidak datang dari pihak luar melainkan terlibat dalam kedekatan keluarga disekitarnya. Ini yang membuat Kartini versi Hanung menjadi perhatian.

    Seperti yang kita ketahui bahwa Kartini gemar berinteraksi lewat surat menyurat dengan rekan-rekannya yang lalu melahirkan berbagai gagasan yang melampaui zamannya. Dari kumpulan surat yang diterbitkan oleh J.H. Abendanonlewat buku Door Duisternis Tot Licht (diterjemahkan menjadi ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’),salah satu sahabat pena Kartini, ada sekitar 87 surat. Bisa dibayangkan seringnya frekuensi berkirim surat yang dilakukan Kartini, tapi ironisnya Film Kartini menafikan hal itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun