Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tradisi, Poligami, dan Edukasi dalam Film Kartini

19 April 2017   17:56 Diperbarui: 19 April 2017   22:47 6309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screenshot Trailer Kartini (DokPri)*

    Sebenarnya Raden Ajeng Moeryam bisa dikatakan menderita. Ia harus rela jadi istri kedua, meski sebagai bangsawan kedudukannya lebih tinggi dari Ngasirah. Sepenggal kisah kelam dari masa lampau ini menjadi momok tersendiri bagi Moeryam yang tidak begitu banyak melakukan dialog, namun harus tetap bertahan pada mimik wajahnya.

    Setelah dimadu, sosok Ngasirah "turun kasta" menjadi pembantu. Bahkan Kartini dan adik-adiknya harus memanggilnya "Yu", bukan Ibu. Ngasirah juga harus memanggil Kartini dengan gelar "Ndoro" (panggilan untuk kaum bangsawan). Ngasirah menjadi salah satu sosok sentral yang membuat Kartini menyadari bahwa perempuan masih diperlakukan secara tidak adil.

    Poligami pun menjadi sesuatu yang sangat berlawanan dengan cita-cita Kartini untuk emansipasi wanita. Baik Kartini maupun Ngasirah sama-sama harus menghadapi pilihan yang sangat sulit. Wanita masih dipandang sebagai warga kelas dua pada era itu. Setelah menikah pun, mereka harus mengabdikan segenap jiwa dan raga untuk suaminya.

    Banyak adegan dalam film Kartini yang kritis menembus dengan gamblang suasana di balik tembok singgasana kekuasaan wilayah Jepara. Kartini, sebagai sosok wanita dari Jepara itu tidak hanya ingin membongkar praktik ketidakadilan tetapi juga menolak tunduk pada godaan untuk berlaku tidak adil pula. Menolak ketidakadilan sekaligus bertindak adil adalah dua sisi yang tak terpisahkan.

    Pada masa itu, melanggar adat adalah hal yang pantang untuk dilakukan. Namun, Kartini tetap teguh pendirian meski harus berada dalam tekanan tradisi yang mengharuskannya menjadi Raden Ayu. Ketika wanita menjadi Raden Ayu, ia harus menjalani masa pingitan sampai nanti pria bangsawan melamarnya.

    Kartini pun mempengaruhi kedua adiknya, Kardinah (Ayushita Nugraha) dan Roekmini (Acha Septriasa) untuk mendobrak budaya. Mereka berupaya membebaskan diri dari kakunya tradisi wanita ningrat Jawa yang harus berjalan sambil jongkok, berbahasa Jawa Kromo, menyembah dengan mempertemukan kedua tangan, dan menjalani ritual pengasapan dupa agar tubuh wanita tetap harum. Tradisi Jawa kuno juga ditentang karena menganggap perempuan tidak pantas menuntut ilmu lebih tinggi dari pria hingga membuat perdebatan dalam keluarga ningrat itu sendiri. Perempuan di era itu hanya ditakdirkan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah, dan mengurus keluarga.

    Kartini juga membolehkan kedua adiknya untuk memanggil dirinya dengan nama Kartini saja tanpa harus menjunjung tinggi sopan santun yang begitu runtun. Kelucuan dan keanehan Kartini pun muncul hingga kelakukannya yang doyan ngemil kacang mede menghiasi beberapa adegan Kartini dalam masa pingitan yang penuh tekanan.

    Beberapa hal yang dilakukan Kartini dalam lingkup keluarga juga terlihat lepas dari keanggunannya sebagai seorang perempuan. Kartini tampil dengan tomboi sekaligus menjadi sosok priyayi yang mendobrak tradisi dan adat. Ia dan adik-adiknya terbiasa mengobrol di atas tembok keraton dengan memakai kain dan kebaya. Kartini pun lebih menonjol menjadi pusat perhatian dibanding kedua adiknya. Ada tingkah laku konyol dalam sikap mereka menertawakan budaya priyayi dan melawan penjara pingitan.

    Upaya dari sineas yang mempertahankan unsur artistik sebagai proses penciptaan kreatif kisah hidup kartini yang berada pada kungkungan aturan, nalar, atau fakta sebagai cerita hidup seorang tokoh terkenal. Entah sesuai dengan kisah nyata atau tidak, namun dalam film ini terkesan tak ada saksi hidup yang bisa menjadi kunci dalam beberapa adegan.

    Tak bisa dipungkiri bahwa masalah utama dari pembuat film dalam membuat sebuah film biopik yaitu masyarakat pemuja tokoh tersebut. Rakyat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang menafikan interpretasi beda terhadap tokoh pujaannya. Hal ini berakibat pada muncul film-film biopik yang hanya berfungsi sebagai medium glorifikasi dan curriculum vitae audio-visual.

    Penuturan terhadap sosok Kartini memang klise hampir sama dengan film-film biopik garapan Hanung Brahmantyo sebelumnya. Namun, ada sebuah discovery atau penemuan baru yang diupayakan untuk memberi penonton pendalaman sudut pandang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun