Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penindasan Harus Dihapuskan!

5 Januari 2017   15:30 Diperbarui: 5 Januari 2017   15:34 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku berbisik dalam hati “katanya zaman sudah merdeka, tapi mengapa penindasan masih tetap ada…?....”

Penindasan atau tindak kekerasan sudah sering menjadi headline di berbagai media massa. Tindak kekerasan bisa terjadi di mana saja (tempat dan transportasi umum, kantor, lingkungan keluarga atau rumah tangga dan masih banyak lagi). Tindakan ini juga terjadi kapan saja tanpa mengenal waktu. Bahkan, tindakan ini dapat dilakukan oleh siapa saja (orang yang belum kita kenal, orang tua, saudara laki-laki ataupun perempuan, dan lain-lain). Korban kekerasan tak mengenal tingkat kasta, pendidikan, maupun usia. Semua selalu memiliki peluang yang sama untuk menjadi korban tindak kekerasan. Biasanya, kaum perempuan dan anak-anak lebih mendominasi menjadi korban didalamnya. Ada rasa ‘was-was’ yang cemas dan prihatin karena kondisi demikian menjadi suatu fenomena. Korban sering dibuat tak berdaya, hingga mereka tak berani menempuh jalur hukum untuk melawannya.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau biasa disingkat dengan KDRT menjadi sorotan terkini sebagai bentuk penindasan yang paling banyak menyita perhatian. Tindakan ini memang cukup private karena berada pada struktur lingkup rumah tangga seseorang. Penyebab KDRT bisa bermula dari masalah finansial. Misalnya, tidak memberi nafkah secara rutin atau dalam jumlah yang tercukupi, pembatasan dan pelarangan untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, dan pengendalian dominasi peranan dalam rumah tangga tersebut. Budaya ini seakan menjadi hal biasa dalam tatanan kehidupan rumah tangga di Indonesia.

Dalam mengenali korban, kadang-kadang para pelaku KDRT mengurung perempuan dan anaknya dalam suatu sikap over protective. Pelaku mulai menjauhkan korban dari keluarga, teman-teman, bahkan lingkungan sekitar. Selanjutnya, pelaku menjustifikasi korban agar memiliki rasa bersalah yang mendalam. Fase ini akan menegaskan cengkeraman pelaku terhadap si korban yang sudah terintimidasi.

Tidak hanya pada kasus KDRT, pelaku juga sering membuat anak-anak tidak diperlakukan selayaknya manusia. Pelecehan atau ‘bullying’, pencabulan, dan perdagangan manusia (human trafficking) menjadi bentuk penindasan yang begitu biadab dan keji. Para pelaku dalam sekejap merusak mental generasi bangsa.

Dalam tindak kekerasan, para pelaku tak langsung menindas begitu saja. Ada suatu ancaman (kekerasan verbal) yang menyudutkan sehingga korban sering terdiam mengalami tekanan seperti itu. Mereka akan semakin tersugesti dan tidak akan berani melawan si pelaku. Korban mencoba untuk bertahan dari kecaman kejam si pelaku. Keadaan seperti itu akan memunculkan tuntutan dari si pelaku. Jika tuntutan tidak dituruti, pelaku mulai melucuti korban. Lama-kelamaan, pelaku akan menunjukkan sikap kasarnya. Hingga akhirnya, kekerasan fisik mulai dilakukan secara berulang dan terus-menerus.

Perlahan tapi pasti, pelaku membuat korban tidak berdaya. Korban seolah telah terdoktrin dalam jangka waktu yang panjang. Banyak korban tidak sadar telah melewati fase demi fase tindak kekerasan itu. Namun, akan ada suatu fase titik kesadaran dan kesabaran diuji.

Fase ini akan dimaknai dari pemikiran korban yang mulai kalut. Rasa kesakitan terhadap fisik dan nurani yang sudah rusak tak dapat ditahan. Ketidaknyamanan hidup pun mulai dirasakan korban. Jiwa dan mental yang tidak stabil juga mulai terasa oleh korban.

Ada korban yang memilih untuk bercerai (jika mengalami kekerasan dalam rumah tangga) atau bahkan melukai diri sendiri dengan bunuh diri. Kekerasan psikologis pun bisa terjadi dan mengganggu korban. Pendampingan secara psikologis dan secara hukum tetap harus difasilitasi oleh berbagai pihak. Jika tidak, kondisi demikian menimbulkan efek berkelanjutan, seperti traumatik, ketakutan, hilangnya sikap saling percaya, lunturnya kemampuan untuk bertindak, hingga penderitaan psikis berkepanjangan yang bisa membuat korban menjadi gila.

Jika ada korban disekitar kita, mari kita mulai selamatkan nyawa mereka. Dengarkan masalah mereka dan bantu mereka keluar dari tindak kekerasan seperti itu. Ingat, rasa takut muncul dari pikiran kita sendiri, kita juga yang membuat diri sendiri menjadi takut. Jangan biarkan rasa takut mempengaruhi diri sendiri, tetapi taklukkan rasa takut kita melalui tindakan, sehingga mental kita akan menjadi semakin baik. Jangan sampai harus menunggu bahaya terlebih dahulu, baru semua bergerak untuk menangani masalah tindak kekerasan ini.

Upaya pencegahan terhadap masalah penindasan di Indonesia sebenarnya telah dilakukan juga oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Gerakan Three Ends KPPPA terus mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak (end violence against women and children), mengakhiri perdagangan manusia (end human trafficking), dan mengakhiri ketidakadilan akses ekonomi (end barriers to economic justice). Deklarasi ini penting digencarkan sebagai aksi nasional agar masyarakat juga ikut bertindak dan berperan dalam mencegah dan mengawasi tindak kekerasan agar penindasan bisa dihapuskan.

Problematika sosial semacam ini harus segera dituntaskan. Kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab individu semata atau lembaga kepolisian yang berwenang. Ini sudah menjadi masalah nasional bahkan masalah global. Edukasi untuk menjadi aksi mengatasi masalah ini harus didukung berbagai pihak. Tantangan demi tantangan harus dihadapi bersama. Jangan biarkan ada dendam diantara pelaku dan korban. Sebisa mungkin titik temu menjadi fase akhir untuk saling melindungi.

Perubahan pola pikir yang menghalangi ruang gerak juga harus diupayakan. Sudah selayaknya perempuan tidak boleh bersikap lemah. Perasaan yang selalu dijadikan landasan pemikiran pun harus segera mereka abaikan. Ada baiknya, perempuan juga mulai berpikir dengan menggunakan logika untuk menuntaskan tindakan yang tidak sesuai norma. Kaum pria juga sudah sewajarnya berfungsi menjadi pelindung dalam setiap kesempatan.

Mulai dari sekarang, kita tumbuhkan lagi sikap saling menghargai antar sesama secara berkesinambungan. Buka mata, buka pikiran, dan buka hati untuk saling berefleksi agar dapat mengerti satu sama lain. Butuh pendekatan inovatif dan inklusif untuk membentuk rasa kepedulian kita terhadap penderitaan disekitar. Kemerdekaan sudah didapat, jangan sampai masih ada perempuan dan anak-anak yang ditindas.

In each my opinion, lies a profound meaning and message of challenge and hope*

URL Akun FB : https://www.facebook.com/achmad.humaidy

URL Akun Twitter : https://twitter.com/me_idy

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun