Mohon tunggu...
Achmad Hariri
Achmad Hariri Mohon Tunggu... Dosen - Membaca, Menulis, dan Bergerak

Dosen Fakultas Hukum UM Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Penundaan Pemilu dan Otoritarianisme

18 Maret 2022   18:45 Diperbarui: 18 Maret 2022   18:47 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana terkait penundaan pelaksanaan Pemilu 2024 belakangan ini menjdi isu nasional yang sangat sering dibicarakan masyarakat. Tentu saja dalam hal ini masyarakat ada yang pro maupun kontra. Di alam domokrasi segala wacana tersebut memang tidaklah dilarang, namun akan menjadi persoalan ketika wacana penundaan Pemilu sudah diikuti oleh gerakan yang sistematis untuk mewujudkannya.

Padahal, penundaan Pemilu sebenarnya dalam perspektif hukum sangatlah bertentangan dengan cita-cita hukum, baik dalam aspek filosofis, yuridis maupun sosiologis. Nah, bagaimanakah pertimbangan filosofis, yuridis, dan sosiologis dalam memandang wacana penundaan Pemilu.

Aspek Filosofis

Sebelum kita membahas persoalan penundaan Pemilu dari aspek filosofis. Penting rasanya kita mengenal beberapa sistem negara. Dahulu, sebelum kita mengenal sistem negara modern, kita telah mengenal sistem negara bercorak otoriter dengan sistem monarki. Setelah itu, kemudian kita mengenal negara modern dengan sistem pemerintahan republik.

Nah istilah republik sendiri merupakan antitesa dari sistem monarki. Dalam UUD 1945 pasal 1(1) berbunyi, "Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk republik," artinya kekuasan maupun kedaulatan negara merupakan menifestasi dari kedaulatan publik (rakyat).

Dari sini, sehingga muncullah instrumen yaitu pemilihan umum yang kemudian disingkat dengan Pemilu. Pemilu merupakan instrumen untuk mencari pemimpin terbaik yang akan didaulat menjadi penguasa. Karena kedaulatan bersumber dari rakyat maka penguasa yang terpilih, kekuasaannyapun seyogyanya dibatasi.

Jika tidak dibatasi maka yang menjadi kekhawatiran bersama adalah kekuasaan tersebut cenderung berpotensi diselewengkan. Sebagaimana adagium Lord Acton yang terkenal dengan statemennya, "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely."

Perlu kita ketahui, bahwa jika menilik sejarah, teori pembatasan kekuasaan awalnya diperkenalkan oleh John Locke. Dalam pandangan Locke kekuasaan negara tidak boleh betrumpu pada satu lembaga atau organ. Kekuasaan harus didistribusi sehingga ada check and balance diantara organ negara. Teori ini kemudian disempurnakan oleh Montesquieu.

Aspek Yuridis

Senada dengan aspek filosofis, dalam pertimbangan aspek yuridis, penundaan Pemilu jelas bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Hal tersebut tertuang dalam pasal 22 E (2), secara tidak langsung penundaan pemilu akan memperpanjang masa jabatan Presiden yang saat ini berlangsung 2 periode.

Padahal konstitusi kita sudah berpaham konstitusionalisme yang salah satunya yakni mengatur pembatasan masa jabatan Presiden. Hal ini dapat dilihat pada pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan." Jelas, ya, di sini bahwa semestinya Presiden dibatasi masa jabatannya maksimal 2 periode (10 Tahun). Dalam konstitusi modern pemisahan kekuasaan ini menjadi hal penting.

Aspek Sosiologis

Bagaimana dengan aspek sosiologis? dari aspek sosiologis, pembatasan kekuasaan yang ada pada UUD 1945 tidak lepas dari suatu gerakan bersejarah di indonesia, yaitu reformasi. Tentu gagasan reformasi ini sudah familiar bagi kita.

Sebelum reformasi masa jabatan presiden dan wakil presiden tidak diatur secara tegas, sehingga terjadilah otoritarianisme. Ini menjadi sebuah pergulatan, bahwa akankah sejarah peradaban kita mundur ke masa lalu?

Penundaan pelaksanaan Pemilu dan juga wacana perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi 3 periode merupakan hal yang cacat logika hukum, dengan alasan apapun.

Terkait dengan persoalan pelaksanaan Pemilu di tengah pandemi sebenarnya bisa diatasi dengan pemilihan metode e-votting sehingga menghindari kerumunan masyarakat. Sementara itu, untuk alasan keberlanjutan pembangunan ekonomi juga tidak relevan, waktu yang diberi 10 tahun oleh konstitusi sudah relative cukup untuk seorang Presiden bisa berbuat banyak sehingga terjaadi suatu perubahan, kalau selama 10 tahun belum bisa memberi perubahan, maka seyogyanya memberi kesempatan kepada banyak anak bangsa yang memiliki potensi untuk menjadi pemimpin agar ada estafet kepemimpinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun