Mohon tunggu...
Achmad Hariri
Achmad Hariri Mohon Tunggu... Dosen - Membaca, Menulis, dan Bergerak

Dosen Fakultas Hukum UM Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Paradoks Negara Hukum

28 September 2021   10:29 Diperbarui: 28 September 2021   11:20 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sistem hukum di Negara kita nampaknya mengalami paradoks, dalam realitas potret penegakan hukum ibarat jauh panggang dari pada api. Sehingga menarik apa yang dikatakan oleh Hakim MK belakangan ini, Arief Hidayat, sebagaimana dilansir dalam website MK, Minggu (12/9/2021). Ia menyatakan bahwa pembangunan hukum Indonesia bukan mengarah kepada Negara Hukum dengan sistem rechtsstaat , melainkan sistem hukum yang berdasarkan kepada Pancasila. 

Pesan dalam pernyataan ini sangatlah mendalam, mengingat para penegak hukum kita dan bahkan akademisi masih mengabaikan Pancasila sebagai sistem Hukum Indonesia. Hal ini tentu saja menjadi sebuah paradoks.

Negara Hukum Rechtsstaat

Sebelum kita membincang tentang apa itu Negara hukum Pancasila, lebih baik kita samakan persepsi terlebih dahulu, apa sih, rechtsstaat itu? Menurut Friedrich Stahl unsur rechtstaat ada empat yaitu: perlindungan hak-hak manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, serta adanya peradilan administrasi.

Lain lagi nih, jika menurut Peter Mahmud Marzuki, yang menyatakan sistem civil memiliki tiga karakteristik pertama, kodifikasi, kedua, hakim tidak terikat pada preseden, namun undang-undang sumber hukum, ketiga, sistem peradilan bersifat inkuisional.

Sebenarnya, dalam pandangan H.L.A. Hart semua hukum pada hakikatnya adalah produk legislasi. Sementara adat istiadat dan peraturan common law bisa dihilangkan status hukumnya oleh undang-undang. Sehingga civil law ini digadang sebagai bentuk menifes otonomi hukum. Nah, dalam sistem hukum yang otonom tidak mengkodifikasi teologi khusus, sistem hukum otonom terpisah dari prinsip-prinsip yang mengatutur hubungan manusia dengan Tuhan.

Sistem Hukum Pancasila

Setelah mengurai bagaimana itu sistem rechtsstaat, penting juga kita mengenal landasan hukum Pancasila yang termaktub pada Tap MPR no III/MPR/2000 pasal 1 yat 3 bahwa  "Pancasila sumber hukum nasional" , pasal 1 "sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan perundang-undangan. Serta dalam Undang-undang No. 12/2011 pasal 2 yang juga menyebutkan "Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara".

Pertanyaannya, bagaimana mengukur validitas Pancasila sebagai dasar Negara? Hans Kelsen menjawabnya dengan pandangan bahwa suatu norma adalah norma hukum yang valid, jika norma tersebut telah dibuat dengan cara yang ditentukan oleh tata hukumnya, serta jika norma tersebut belum dibatalkan. Secara ekplisit dalam pembukaan UUD 1945 yaitu di alinea ke 4 jelas Pancasila sebagai dasar negara (konstitusi).

Pancasila sebagai cita-cita hukum memiliki dua fungsi, pertama, fungsi regulatif. Kedua, fungsi konstitutif. Pancasila juga menjadi prinsip-prinsip hidup bangsa, menurut Bernard L. Tanya, et.al. (2015) Pancasila sebagai hukum juga harus memberi fondasi moral-etik.

Apa saja sih, moral etik yang dimaksud? pertama, memberi misi bagi hukum, yaitu mewujudkan Indonesia menjadi rumah bagi semua penghuninya untuk hidup tentram didalamnya. Kedua, memberi landasan etos bagi cara berhukum, etos tersebut dapat berupa sikap gentelman, yaitu mengedepankan kejujuran, berani tanggungjawab, taat asas, menjunjung keadilan, memihak pada kebenaran.

Ketiga, menjadikan sistem hukum Indonesia eksis. Keempat, memberi landasan moral-etik bagi sistem hukum Indonesia, kelima, hukum normatif berdasarkan pada norma kemanusiaan dan keadilan. Keenam, hukum harus mengedepankan semangat persatuan. Ketujuh, hukum yang berpihak pada rakyat, terakhir, orientasi hukum untuk memberikan akses pada terwujudnya keadilan sosial.

Paradoks Sistem Hukum Rechtsstaat

Kendatipun tujuan dari sistem hukum rechtsstaat adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian, namun ternyata banyak penegak hukum masih condong pada kepastian dan abai terhadap tujuan yang lainnya. 

Misalnya terhadap tiga nelayan di aceh yang dipenjara karena selamatkan etnis Rohinggnya. Pada kasus ini, perspektif hukum rechtsstaat nelayan memang melawan hukun, namun menurut perspektif Pancasila nelayan justru merupakan pahlawan yang harus di lindungi dan bahkan diberikan penghargaan, karena telah menyelamatkan nyawa manusia. Dari kasus ini penegak hukum hanya mengedepankan aspek kepastian (Rechtsstaat).

Juga, kasus yang mencuri perhatian khalayak adalah 2 ibu -- ibu yang mencuri susu, sebelum ramai diperbincangkan 2 ibu ibu ini diancam 7 tahun penjara, akan tetapi karna kasus ini menjadi perhatian publik maka korban mau mencabut laporannya. Tindakan 2 ibu ibu diatas secara hukum memang salah, namun kalau dilakukan dengan pendekatan hukum rechtsstaat makan penjara menjadi solusi, namun kalau dilakukan dengan pendekatan hukum Pancasila, lain solusinya.

Dari pengakuan pelaku apa yang dilakukannya itu karna ada unsur keterpaksaan akan kondisi ekonomi keluarga. adagium "ada nomina dibalik fonomena" Immanuel kahn perlu diperhatikan. Apalagi dalam pembukaan UUD 1945 disitu disebutkan bahwa Negara harus hadir untuk memberikan kesejahteraan bagi warganya, seharusnya Negara yang patut disalahkan karna sudah gagal memberikan kesejahteraan bagi warganya sehingga ibu-ibu diatas terpaksa melakukan pencurian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun