Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menguak Sejarah Raja-raja Majapahit

16 Desember 2019   11:55 Diperbarui: 16 Desember 2019   11:55 7356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: gramedia.com/Dok. Araska Publisher

Majapahit dikenal pula dengan nama Wilwatikta. Kerajaan ini dipimpin oleh 12 raja yang memerintah secara berurutan. Keduabelas raja tersebut yakni: Dyah Wijaya, Jayanagara, Tribhuwana Tunggadewi, Hayam Wuruk, Wikramawardhana, Sri Suhita, Dyah Kertawijaya, Rajasawardhana, Girishawardhana, Singhawikramawardhana, Bhre Kertabhumi, dan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.

Dyah Wijaya

Dyah Wijaya yang dikenal dengan Raden Wijaya, Jaka Sesuruh, Raden Tetep, Prabu Kertarajasa Jayawardhana, atau Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertajasa Jayawardhana merupakan pendiri dan raja Majapahit I yang memerintah dari tahun 1293 hingga 1309.

Sebelum menjabat sebagai raja, Dyah Wijaya merupakan panglima perang pasukan Singhasari. Sesudah Singhasari di bawah kekuasaan Jayakatwang (adipati Glangglang) yang menjadi raja di Daha, Dyah Wijaya yang didukung oleh pasukan Tartar (Mongol) menyerang Jayakatwang. Akibat serangan Dyah Wijaya tersebut, Jayakatwang berhasil dilengserkan dari tahta kekuasaannya dan dibunuh di atas kapal oleh pasukan Tartar.           

Sesudah pasukan Tartar diusir dari tanah Jawa, Dyah Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Semasa menjabat sebagai raja, Dyah Wijaya dihadapkan dengan pemberontakan Rangga Lawe (adipati Tuban) dan Lembu Sora. Paska pemberontakan Rangga Lawe, Dyah Wijaya memberikan wilayah Majapahit Timur kepada Arya Wiraraja. Ayah Rangga Lawe yang sebelum menjadi raja di Majapahit Timur menjabat sebagai adipati di Sumenep.

Jayanagara

Jayanagara merupakan raja Majapahit II. Semasa menjadi raja, Jayanagara yang memerintah dari tahun 1309 hingga 1328 tersebut dihadapkan dengan pemberontakan Mandana, Pawagal, Ra Semi, Pu Nambi, Ra Kuti, dan Dharmaputra Winehsuka.

Terhadap pemberontakan Mandana, Pawagal, Ra Semi, dan Pu Nambi; Jayanagara berhasil menumpasnya. Namun sewaktu pemberontakan Ra Kuti, Jayanagara meninggalkan istana Majapahit. Oleh Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara, Jayanagara diungsikan di Desa Bedander.

Sesudah Gajah Mada berhasil menumpas pemberontakan Ra Kuti, Jayanagara meninggalkan Desa Bedander dan kembali menduduki tahta Majapahit. Pada saat itulah, Jayanagara ingin menikahi Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat (putri Gayatri dan Dyah Wijaya). Namun sebelum tujuannya terlaksana, Jayanagara dibunuh Ra Tanca (tabib istana Majapahit). Seusai membunuh Jayanagara, Ra Tanca dibunuh oleh Gajah Mada.

Tribhuwana Tunggadewi

Tribhuwana Tunggadewi merupakan raja Majapahit III yang memerintah dari tahun 1328 hingga 1350. Semasa menjadi raja, Tribhuwana didampingi oleh suaminya yakni Cakradhara atau Kertawardhana.

Ketika menjabat sebagai raja, Tribhuwana yang memiliki nama asli Dyah Gitarja tersebut dihadapkan pada pemberontakan Sadeng dan Keta. Namun melalui Adityawarman dan dirinya sendiri, pemberontakan Sadeng dan Keta berhasil ditumpas sampai ke akar-akarnya.

Melalui dukungan Sumpah Palapa Gajah Mada, Tribhuwana meluaskan wilayah kekuasaannya. Selain menundukkan Bali, Tribhuwana Tunggadewi mengutus Adityawarman untuk menaklukkan sisa-sisa wilayah Sriwijaya. Sesudah berhasil menaklukkan kerajaan Dharmasraya, Adityawarman menjadi raja vassal Majapahit di sana. Karena ibukota dipindahkan di Pagaruyung, Dharmasraya kelak dikenal dengan Pagaruyung.

Karena masih berusia muda, Hayam Wuruk yang merupakan putra Tribhuwana tersebut dinobatkannya menjadi raja Majapahit. Sementara, Tribhuwana lebih memilih menjabat sebagai anggota Bhatara Sapthaprabu.

Hayam Wuruk

Hayam Wuruk (Ayam Terpelajar) menjabat sebagai raja Majapahit keempat dari tahun 1350 hingga 1389. Semasa pemerintahannya, Majapahit mengalami puncak kejayaan dan sekaligus awal kemundurannya.

Dikatakan mengalami puncak kejayaan, karena semasa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengalami perluasan wilayah kekuasaan dan pengaruh di seluruh nusantara. Di masa pemerintahannya, banyak infrastruktur dibangun. Banyak karya sastra diciptakan. Seni dan budaya berkembang pesat.

Disebutkan awal kemundurannya, karena semasa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit yang mengalami kecelakaan sejarah berupa Perang Bubat mendapat citra negatif di hadapan orang-orang Sunda khususnya dan orang-orang manca negara pada umumnya.

Masa awal kemunduran Majapahit semakin tampak sesudah Perang Bubat, Mahapatih Amangkubhumi Gajah Mada tidak terlibat langsung dalam kebijakan pemerintahan Hayam Wuruk. Sementara Gajah Enggon yang menggantikan kedudukan sebagai Mahapatih Amangkubhumi tidak secerdas Gajah Mada.

Wikramawardhana

Wikramawardhana (Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama) merupakan raja Majapahit V dari tahun 1390 hingga 1428. Semasa menjabat sebagai raja, Wikramawardhana (suami Nagarawardhani/menantu Hayam Wuruk) dari Majapahit Barat berselisih dengan Bhre Wirabhumi (putra Hayam Wuruk yang lahir dari selir) dari Majapahit Barat. Perselisihan keduanya berujung pada perang setahap demi setahap yang dikenal dengan Perang Paregreg.

Dalam Perang Paregreg, Wikramawardhana berhasil menaklukkan Bhre Wirabhumi. Di tangan Raden Gajah (Bhra Narapathi), Bhre Wirabhumi tewas dengan dipenggal kepalanya. Sesudah Bhre Wirabhumi tewas, Majapahit Timur dikuasai oleh Wikramawardhana. Bhre Daha II yang merupakan putri Bhre Wirabhumi pun disunting oleh Wikramawardhana. Kelak perkawinan Bhre Wikramawardhana dengan Bhre Daha II melahirkan Sri Suhita (raja Majapahit VI).

Di satu sisi, Wikramawardhana diuntungkan dalam Perang Paregreg. Di sisi lain, Wikramawardhana mengganti rugi pada Kaisar Cina. Karena sewaktu Perang Paregreg berlangsung, pasukan Majapahit Barat membunuh banyak pengikut Cheng-ho yang tengah berkunjung di Majapahit Timur untuk meninjau perang saudara antara menantu dan putra Hayam Wuruk tersebut.

Berkat Perang Paregreg, Wikramawardhana pula kehilangan banyak daerah yang semula menjadi bawahan (jajahan) Majapahit untuk menjadi negeri berdaulat penuh. Akibatnya wilayah Majapahit (barat dan timur) yang kembali bersatu tersebut justru semakin mengalami masa suramnya.

Sri Suhita

Sri Suhita (Bhatara Parameswara) merupakan raja Majapahit VI yang memerintah dari tahun 1429 hingga 1447. Semasa menjabat sebagai raja Majapahit, Sri Suhita mengangkat Arya Teja sebagai pimpinan masyarakat Cinta di Tuban.

Sebagai raja, Sri Suhita memiliki sifat pendemdam. Terbukti Sri Suhita menghukum penggal kepada pada Raden Gajah (Bhra Narapathi). Pengikut Wikramawardhana ayahnya yang telah membunuh kakeknya yakni Bhre Wirabhumi ketika terjadi Perang Paregreg.

Karena perkawinannya dengan Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja tidak dikaruniai putra, maka sepeninggal Sri Suhita, Majapahit dikuasai oleh Dyah Kertawijaya yang merupakan adiknya (putra Wikramawardhana dan Bhre Daha II).

Dyah Kertawijaya

Dyah Kertawijaya merupakan Raja Majapahit VII yang memerintah dari tahun 1447 hingga 1451. Semasa menjabat sebagai raja, Majapahit dilanda gempa bumi, gunung meletus, dan pembunuh penduduk Tidung Gelating yang dilakukan oleh Bhre Paguhan.

Dalam Serat Kandha dan Serat Damarwulan, Dyah Kertawijaya diidentikkan dengan putra Ratu Kencana Wungu dan Raden Damarwulan yang mendapat gelar Prabu Brawijaya I.

Dyah Kertawijaya turun tahta sesudah gagal menghadapi pemberontakan Rajasawardhana. Di mana semula, Rajasawardhana merupakan penguasa di daerah Pamotan, Keling, dan Kahuripan. Karenanya Rajasawardhana dikenal dengan Bhre Pamotan, Bhre Keling, atau Bhre Kahuripan.

Rajasawardhana

Rasajawardhana yang identik dengan Dyah Suryawikrama (putra Dyah Kertawijaya) merupakan raja Majaphit VIII yang memerintah dari tahun 1451 hingga 1453. Berdasarkan Serat Pararaton, Rajasawardhana diidentikkan dengan Bhra Hyang Purwawisesa.

Majapahit mengalami kekosongan pemerintahan dari tahun 1453-1456. Menurut catatan sejarah, kekosongan pemerintahan di Majapahit tersebut dikarenakan perebutan kekuasaan antara Rajasawardhana Dyah Suryawikrama dan Girishawardhana Dyah Samarawijaya (putra sulung Wijayakumara atau menantu Dyah Suryawikrama). Dalam perebutan kekuasaan tersebut, Girishawardhana berhasil memenangkannya hingga menjadi raja Majapahit IX pada tahun 1456.

Girishawardhana

Girishawardhana Dyah Samarawijaya menjabat sebagai raja Majapahit sesudah berhasil menaklukkan Rajasawardhana Dyah Suryawikrama. Selama menjabat sebagai raja dari tahun 1456 hingga 1466, Majapahit dilanda bencana berupa gunung meletus pada tahun 1462.

Tiga tahun sesudah mengeluarkan Prasasti Sendang Sedur yang berangka tahun 1463, Girishawardhana mangkat. Arwahnya dicandikan di Puri. Sepeninggal Girishawardhana, Singhawikrawardhana menjabat sebagai Raja Majapahit X.

Singhawikramawardhana

Singhawikramawardhana yang dikenal dengan nama Dyah Suraprabhawa atau Bhre Pandansalas memerintah Majapahit dari tahun 1388 hingga 1396 Saka (1466-1474). Pada tahun 1474, kekuasaan Singhawardhana digulingkan oleh keponakannya sendiri yakni Bhre Kertabhumi. Karena tidak mengalami kekalahan perang melawan Bhre Kertabhumi, Singhawardhana mengungsi ke Daha. Sejak itu, Bhre Kertabhumi menjadi raja Majapahit.

Bhre Kertabhumi

Bhre Kertabhumi menjadi raja Majapahit sesudah berhasil menggulingkan kekuasaan Singhawardhana pada tahun 1474. Pada tahun 1478, Bhre Kertabhumi merestui putranya yang lahir dari selir Cina yakni Raden Patah mendirikan Kesultanan Demak dengan pusat pemerintahan di Bintara (Glagahwangi).

Pada tahun 1486, kekuasaan Bhre Kertabhumi yang berpusat di Majakerta (Trowulan) tersebut digulingkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (putra Singhawardhana Dyah Samarawijaya). Akibat serangan Girindrawardhana tersebut, Bhre Kertabhumi lengser dari tahtanya. Kekuasaan Majapahit pun beralih di tangan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Sejak itu, pusat pemerintahan Majapahit dipindahkan oleh Girindrawardhana dari Majakerta ke Daha.

Girindrawardhana Dyah Ranawijaya

Girindrawardhana Dyah Ranawijaya merupakan raja Majapahit XII yang berkuasa di Daha dari tahun 1486 sampai 1517. Pada tahun 1517, Girindrawardhana diserang oleh Raden Patah. Karena serangan tersebut, Majapahit berhasil ditundukkan Demak Bintara. Sejak itu, Majapahit berstatus sebagai kadipaten bawahan Demak Bintara.

Pada tahun 1527, Girindrawardhana yang mendapat dukungan pasukan Portugis tersebut melakukan pemberontakan terhadap Demak Bintara. Di mana waktu itu, Demak Bintara di bawah kekuasaan Sultan Trenggana. Putra Raden Patah yang berkuasa di Demak Bintara dari tahun 1521 hingga 1546.

Sungguhpun mendapatkan dukungan pasukan Portugis, pemberontakan Girindrawardhana berhasil dipadamkan. Sejak itu, sejarah Majapahit berakhir. Girindrawardhana beserta pengikutnya melarikan diri. Menurut beberapa sumber, mereka melarikan diri ke Bali. Sebagian mereka lainnya melarikan ke tempat-tempat yang dirasa lebih aman, salah satunya di Gunungkidul. [Sri Wintala Achmad]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun