Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membuka Tabir Kapitayan, "Agama Kuna" di Tanah Jawa

13 Desember 2019   01:30 Diperbarui: 18 Juni 2021   14:04 6970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://s1.bukalapak.com/img/19549247751/w-1000/data.png, Araska Publisher Yogyakarta

Baca juga: Sejarah Perang Kerajaan-kerajaan di Nusantara

Sekadar Catatan

Seirama gerak zaman, keadaan dunia turut berubah. Ironisnya agama Kapitayan sebagai tuan rumah pernah tertekan hebat oleh para tamunya. Sebagai misal ketika zaman Kadiri, para penganut agama Hindu yang mampu merangkul penguasa berhasil menekan golongan Kapitayan sehingga harus naik Gunung Klotok dan Wilis. Pendapat ini berdasarkan artefak peninggalan Kapitayan yang tersebar di kedua gunung itu.

Pada era Kerajaan Tumapel (Singhasari), para penganut agama Hindu-Buddha menekan hebat kelompok Kapitayan hingga mengungsi ke pesisir selatan Jawa. Selanjutnya pada era Kesultanan Demak, para penganut agama Islam melakukan penetrasi dengan kelompok Kapitayan. Hal ini yang memunculkan asumsi bahwa seandainya para kelompok Kapitayan bersikukuh pada keyakinannya dimungkinkan tidak ada ajaran agama impor begitu mudah masuh di Jawa.

Ketika Buddha dipahami dari sudut pandang Jawa, kita memiliki Borobudur yang dijadikan tempat pendidikan kelas dunia pada masanya. Hal sama juga terjadi pada agama Hindu dengan candi Prambanan dan masyarakat Balinya. Bahkan agama Islam dengan pendekatan kebudayaannya telah menjadikan Walisanga sebagai ulama kelas wahid di Asia Tenggara dan timbullah Islam Nusantara.

Ketika semua dijalankan dengan kaku dan harus sesuai aslinya di mana agama itu diturunkan, maka terjadilah benturan. Ketika ada seseorang yang menganggap sempurna bila agama dijalankan sesuai adat di mana ia diturunkan. Maka jawabnya salah besar. Mengingat tata nilai agama tersebut bersifat universal, sedangkan adat dianugerahkan pada komunitas dan kekhususan lokasi. Sehingga jangan berharap untuk bisa hidup sempurna bila memaksakan sesuatu -- terutama keyakinan -- tanpa menyatupadukan dengan kultur dan karakter bangsa setempat.

Bila pemaksaan keyakinan terhadap seseorang tersebut dilakukan, maka getaran semesta akan melawan dengan hebat. Akan ada hukuman bagi siapa saja yang bersikap tidak adil dan tidak bijaksana kepada sesama. Sementara, Tuhan merupakan Sang Maha Kuasa, Sang Maha Mengetahui, atau Sang Maha Bijaksana. Lantas mengapa masih saja ada orang yang berani mengerdilkan keperkasaan-Nya dengan mengatakan, "Tuhan hanya paham bahasa atau cara kami saja?"

Akan tiba waktunya kebangkitan ajaran kuna yang pernah berjaya di masa silam. Bukan hanya di Jawa, tetapi juga di nusantara atau dunia. Hal ini dikarenakan ajaran kuna tersebut sangat indah karena terdapat aturan hidup yang menuhankan Tuhan Yang Satu. Sebagaimana dikabarkan dalam kitab suci dari semua agama besar di dunia. [Sri Wintala Achmad]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun