Perlu diketahui bahwa konsep Hyang dalam Sang Hyang Taya merupakan asli dari sistem kepercayaan orang Jawa. Dalam bahasa Melayu, Kawi, Jawa, Sunda, atau Bali; kata Hyang dimaknai sebagai keberadaan kekuatan adikodrati yang bersifat supranatural. Keberadaan spiritual tersebut bersifat Ilahiah yang mencipta, mengatur dan memengaruhi segala sesuatu di jagat raya. Sesuatu "Yang Mutlak" yang tidak bisa dipikir dan dibayangkan (niskala). Tidak bisa didekati dengan panca indera.
Dipahami bahwa Tu adalah tunggal dalam dzat. Tu lazim disebut dengan nama Sang Hyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yakni kebaikan dan kejahatan. Tu bersifat kebaikan disebut Tu-han atau Sang Hyang Wenang. Tu bersifat kejahatan disebut Sang Hyang Manikmaya. Dengan demikian, Sang Hyang Wenang dan Sang Hyang Manikmaya merupakan sifat dari Sang Hyang Tunggal. Karenanya baik Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wenang, maupun Sang Hyang Manikmaya bersifat gaib, tidak dapat didekati dengan panca indera dan akal pikiran. Mereka hanya diketahui sifatnnya.
Karena Sang Hyang Tunggal yang memiliki dua sifat paradoks merupakan dzat gaib, maka untuk memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati panca indera dan alam pikiran manusia. Fakta ini yang menjadikan ajaran Kapitayan sebagai kekuatan gaib dari pribadi tunggal Sang Hyang Taya yang tersembunyi di dalam segala sesuatu bernama Tu atau To.Â
Karenanya para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-tu, tu-gu, tu-lang, tu-nggul, tu-ak, tu-k, tu-mbak, tu-nggak, tu-lup, pin-tu, to-peng, to-san, to-pong, to-wok, to-ya. Dalam melakukan bakti puja pada Sang Hyang Taya, orang Jawa menyediakan sesaji berupa tu-mpeng, tu-mbal, tu-mbu, dan tu-kung melalui sesuatu yang diyakini berkekuatan gaib.
Dalam Islam, terdapat tingkatan-tingkatan ibadah seperti syari'ah, thariqah, hakikat, dan ma'rifat. Sementara dalam Kapitayan, praktik di atas merupakan proses ibadah tingkatan syari'at yang dilakukan masyarakat awam pada Sang Hyang Tunggal. Untuk para kaum sufi Kapitayan menyembah langsung pada Sang Hyang Taya dengan gerakan-gerakan tertentu, yakni:
- Melakukan tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap tutuk (lubang) sambil mengangkat kedua tangan dengan maksud menghadirkan Sang Hyang Taya di dalam tutu-d (hati).
- Menurunkan tangan dan disedekapkan di dada yang disebut swa-dingkep (memegang keakuan diri).
- Melakukan tu-ngkul (membungkuk ke bawah).
- Melakukan tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan kedua tumit diduduki).
- Melakukan to-ndhem (bersujud).
Di dalam melakukan ibadah, para penganut Kapitayan juga seperti orang-orang Islam yang menggunakan masjid, orang-odang Hindu menggunakan pura, orang-orang Buddha menggunakan vihara, atau orang-orang Nasrani menggunakan gereja. Adapun tempat ibadah para penganut Kapitayan menggunakan sanggar. Suatu bangunan persegi empat beratap tumpak dengan lubang di dinding sebagai lambang kehampaan.
Seorang penganut Kapitayan sang pemuja Sang Hyang Taya yang dianggap shaleh akan dikaruniai kekuatan gaib bersifat positif (tu-ah) dan bersifat negatif (tu-lah). Mereka yang sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah tersebut dianggap berhak menjadi pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-tu atau dha-tu (cikal bakal gelar ratu dan datu bagi para pemimpin kerajaan). Mereka yang telah dikaruniai tu-ah dan tu-lah, gerak-gerik kehidupannya akan ditandai oleh "pi", yakni kekuatan rahasia Ilahi Sang Hyang Taya yang tersembunyi. Karena itulah, ra-tu atau dha-tu menyebut dirinya dengan kata ganti diri: pi-nakahulun.
Gerak-gerik kehidupan ratu atau datu senantiasa ditandai dengan "pi", misal: berbicara disebut pi-dato, jika mendengar disebut pi-harsa, jika mengajar pengetahuan disebut pi-wulang, jika memberi petuah disebut pi-tutur, jika memberi petunjuk disebut pi-tuduh, jika menghukum disebut pi-dana, jika memberi keteguhan disebut pi-andel, jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut pi-tapuja, jika memancarkan kekuatan disebut pi-deksa, jika meninggal dunia disebut pi-tara.
Dengan prasyarat-prasyarat di muka, kedudukan ra-tu dan dha-tu tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-tu atau dha-tu dituntut keharusan secara fundamental untuk memiliki tu-ah dan tu-lah dan tidak bisa diwariskan secara otomatis pada keturunannya. Seorang ra-tu harus berjuang keras untuk menunjukkan keunggulan tu-ah dan tu-lah.Â
Baca juga: Menguak Sejarah Raja-raja Majapahit
Di mana, ia mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil yang disebut wisaya. Penguasa wisaya disebut raka. Seorang raka yang mampu menundukkan kekuasaan raka-raka lain akan menduduki jabatan ra-tu. Dengan demikian, ra-tu adalah manusia yang telah teruji kemampuannya baik dalam memimpin, mengatur strategi, maupun mengelola tu-ah dan tu-lah yang dimilikinya.