Sesudah Sultan Hadiwijaya mangkat, Danang Sutawijaya yang merupakan putra Ki Ageng Pemanahan mendirtikan Kesultanan Mataram dengan bergelar Panembahan Senapati. Di masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645, Kesultanan mencapai puncak kejayaan. Namun ketika Sunan Amangkurat I menjadi raja untuk menggantikan Sultan Agung, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan karena pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677. Â
Pasca runtuhnya Kesultanan Mataram, kemudian muncullah Kasunanan Kartasura yang didirikan oleh Sunan Amangkurat II pada tahun 1575. Akibat Geger Pecinan pada tahun 1742, ibukota Kasunanan Kartasura dipindahkan ke Surakarta oleh Sunan Pakubuwana II. Karenanya Kasunanan Kartasura kemudian dikenal dengan Kasunanan Surakarta.
Sejak masa pemerintahan Sunan Pakubuwana II sampai Sunan Pakubuwana III, terjadi Perang Suksesi Jawa Tiga. Dari perang inilah kemudian mengakibatkan munculnya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang melahirkan Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Sultan Hamengkubuwana I (Pangeran Mangkubumi/Raden Mas Sujana), serta Perjanjian Salatiga (13 Februari 1757) yang melahirkan Praja Mangkunegaran di bawah kekuasaan KGPAA Mangkunegara I.
Kerajaan Sriwijaya
SEJAK abad ketujuh, Sriwijaya telah berdiri. Sebagai kerajaan maritim yang selalu berpindah-pindah pusat pemerintahannya tersebut memiliki hubungan erat dengan kerajaan-kerajaan di Jawa dan Sunda. Fakta ini ditunjukkan melalui kebijakan Ratu Jay Shima (raja Kalingga) yang menjalin persahabatan antara Kalingga, Sunda, dan Sriwijaya.
Di masa pemerintahan raja-raja Dinasti Syailendra di Medang, hubungan persahabatan antara Sriwijaya dengan Medang sangat terjaga dengan baik. Bahkan terdapat dugaan bahwa sewaktu pemerintahan Samaratungga, ibukota Sriwijaya adalah Medang itu sendiri. Fakta ini ditunjukkan dengan kebijakan Samaratungga yang membagi wilayah kekuasaan sebelum kemangkatannya kepada kedua putranya yakni Pramodhawardhani dan Balaputradewa. Pramodhawardhani mendapat wilayah Medang, sementara Balaputradewa mendapat wilayah Sriwijaya.
Hubungan antara Medang dan Sriwijaya telah lama terjalin dengan baik. Namun semasa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa, Sriwijaya mendapat serangan dari Medang (periode Jawa Timur) di bawah komando Dharmawangsa Teguh pada tahun 990. Namun sebagai kerajaan yang kuat, Sriwijaya berbalik menyerang Medang dengan berada di balik pemberontakan Haji Wurawari pada tahun 1016. Akibatnya, Medang mengalami keruntuhannya yang ditandai dengan kematian massal (maha pralaya).
Namun setahun kemudian yakni tepatnya tahun 1017, Sriwijaya yang bermaksud menguasai daerah-daerah di Asia Tenggara tersebut justru mulai mendapat serangan Rajendra Chola I, raja dari Dinasti Chola yang tinggal di daerah Koromandel (India Selatan). Hingga pada tahun 1025, Sriwijaya mengalami keruntuhannya sesudah rajanya yang bernama Sangrama Vijayottunggawarman berhasil ditawan oleh Rajendra Cola I.
Kerajaan Pagaruyung
RUNTUHNYA Kerajaan Sriwijaya yang dikenal dengan kerajaan Buddha tersebut memunculkan kerajaan baru yakni Pagaruyung yang letaknya di Sumatera Barat. Suatu kerajaan yang didirikan oleh Adityawarman. Sepeninggal Adityawarwan, Pagaruyung dipimpin oleh Ananggawarwan (1375-1417).
Di masa Ananggawarman, Pagaruyung pernah mendapatkan serangan dari Majapahit. Di mana waktu itu Majapahit dipimpin oleh Wikramawardhana (1390-1428). Namun, pasukan dari Majapahit tersebut berhasil dipukul mundur oleh pasukan Pagaruyung. Fakta ini menunjukkan bahwa Majapahit sudah mulai melmah angkatan perangnya. Tidak sebagaimana semasa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389).
Pasca pemerintahan Ananggawarman, Pagaruyung berubah status menjadi Kerajaan Islam (Kesultanan). Adapun sultan-sultan yang memimpin Kesultanan Pagaruyung adalah Sultan Ahmadsyah (1668-1674), Sultan Indermasyah (1674-1730), Sultan Arifin Muningsyah (1780-1821), dan Sultan Bagagarsyah (1821-1833).