Ketika penyerangan Jayakatwang terhadap Singhasari, Dyah Wijaya (menantu Kertanagara) melarikan diri beserta pengikutnya ke Sumenep. Oleh Arya Wiraraja, Dyah Wijaya disarankan untuk menyerahkan diri pada Jayakatwang.Â
Sesudah mendapat ampunan, Dyah Wijaya mendapatkan hadiah Hutan Tarik yang kemudian menjadi pedukuhannya. Di hutan Tarik itulah, Dyah Wijaya menyusun kekuatan untuk melakukan serangan terhadap Jawakatwang.
Pucuk dicinta ulam tiba. Ketika pasukan Tartar datang di Jawa untuk membalas dendam pada Kertanagara, Dyah Wijaya memanfaatkan pasukan yang dipimpin oleh Shih Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing untuk menyerang Jayakatwang.Â
Melalui pasukan Tartar itulah, Dyah Wijaya berhasil menggulingkan kekuasaan Jayakatwang pada tahun 1293. Sesudah Jayakatwang tewas dan pasukan Tartar berhasil diusir dari tanah Jawa, Dyah Wijaya menobatkan diri sebagai raja di Majapahit. Semasa pemerintahan Dyah Wijaya, Majapahit mulai dilanda intrik-intrik internal di lingkup para punggawa hingga menimbulkan perang antara pasukan Majapahit di bawah komando Lembusora dengan pasukan Tuban di bawah kepemimpinan Ranggalawe. Dalam perang yang berlangsung di Sungai Tambak Beras itu, Ranggalawe tewas di tangan Mahesa Nabrang. Sementara Mahesa Nabrang sendiri tewas di tangan Lembusora yang masih merupakan paman dari Ranggalawe.
Sejak awal hingga akhir pemerintahan Majapahit senantiasa dilanda perang baik dengan kerajaan lain maupun perang antar keluarga sendiri dan perang yang timbul akibat kudeta.Â
Perang dengan negara lain semisal Perang Bubat antara Majapahit dengan Sunda pada tahun 1357. Perang antar keluarga yakni Perang Paregreg yang terhadi pada tahun 1404-1406.Â
Perang yang timbul akibat kudeta terjadi semasa pemerintahan Dyah Wijaya, Jayanagara, Tribhuwana Wijayatunggadewi, Kertawijaya, dan Singhawikramawardhana. Majaphit mengalami kehancuran semasa pemerintahan Girishawardhana sesudah mendapatkan serangan dari Kesultanan Demak Bintara pada tahun 1527.
Jauh sebelum runtuhnya Kerajaan Majapahit, Kesultanan Demak Bintara telah berdiri pada tahun 1478. Semasa pemerintahan Raden Patah (1478-1518) dan pemerintahan Patiunus (1518-1521), Kesultanan Demak melancarkan serangan terhadap Portugis yang bercokol di Malaka. Perang terhadap Portugis pun berlanjut di masa pemerintahan Sultan Tranggono (1521-1546).Â
Di masa itu, Portugis membantu pasukan Majapahit yang telah berstatus kadipaten dan berhasrat melakukan pemberontakan terhadap Kesultanan Demak. Namun pemberontakan dari Majapahit tersebut berhasil dipadamkan oleh Sultan Trenggono pada tahun 1527.
Kesultanan Demak mengalami masa surut semasa pemerintahan Sunan Prawata (1546-1549). Ketika Sunan Prawata baru memerintah selama tiga tahun di Kesultnan Demak dengan ibukot di Gunung Prawata, Arya Penangsang berhasrat membunuhnya. Hasrat pembunuhan Arya Penangsang tersebut karena Sunan Prawata merupakan dalang pembunuhan ayahnya yakni Surawiyata. Sesudah tujuan membunuh Sunan Prawata melalui Rangkut abdinya itu tercapai, Arya Penangsang menjadi raja Kesultanan Demak dengan ibukota di Jipang.
Belum lama memerintah, kekuasaan Arya Penangsang atas Kesultanan Demak sudah digulingkan oleh Sultan Hadiwijaya melalui utusannya yakni Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi, Danang Sutawijaya, dan Ki Juru Mrentani. Sesudah Arya Penangsang turun tahta, maka Jipang dan Demak berada di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya.