Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[In Memoriam Yos Tri] Seni Patung, Membangkitkan Spirit dan Mencerdaskan Publik

26 September 2019   12:40 Diperbarui: 26 September 2019   12:56 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yos Tri (Dok. R. Toto Sugiharto)

INSPIRASI dalam penciptaan karya seni yang ditangkap oleh seorang kreatorbisa bersumber dari lingkungan sekitarnya. Kreator yang tinggal di pantai, laut cenderung menjadi inspirasi kreativitas seninya. 

Kreator yang tinggal di kaki gunung, maka gunung dan lingkungannya akan menjadi inspirasi di dalam melahirkan karya-karya seninya. Sementara, kreator yang tinggal di tengah kota besar akan mendapatkan inspirasi dari kehidupan keras dari para penghuninya. Dari sini dipahami kalau kreator, lingkungan, dan karya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Ketiganya saling kait-mengait.

Sebagaimana kreator seni lainnya yang menjadikan lingkungannya sebagai sumber inspirasi, Yos Tri Atmadja (selanjutnya ditulis nama populernya "Yos Tri") yang sewaktu kecil tinggal di lingkungan candi (Magelang) pula menjadikan arca-arca yang terdapat di candi sebagai inspirasi dalam penciptaan karya-karya patungnya. Bahkan berangkat dari pengalamannya di masa kecil itu, ia menjadikan seni patung sebagai media ekspresi kreatifnya.

Pada bangunan candi tersirat sejarahnya. Berkat pemahaman ini, Yos Tri belajar sejarah candi yang kemudian dijadikan konsep dalam penciptaan karya-karya patungnya.Karenanya candi, arca, dan sejarah candi merupakan telu-telune atunggal yang melatarbelakanginya dalam menentukan pilihan hidupnya sebagai seniman patung.

Selain candi, arca, dan sejarah; pengaruh dari pematung dan pelukis Trubus merupakan latar belakang Yos Tri di dalam menekuni seni patung. Dari pertemuan yang intensif dengan Trubus hingga menyaksikan saat mematung dan melukis, ia semakin bersemangat ingin menjadi pematung dan sekaligus pelukis. Namun di kemudian, ia lebih dikenal publik sebagai pematung ketimbang sebagai pelukis.

Semasa duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas 3, Yos Tri sering bertandang ke rumah kawan sekelasnya yang kakaknya sebagai pematung. Kakak dari kawan sekelasnya itu bernama Gardono. Saat menyaksikan Gardono yang tinggal di Jalan Kaliurang (Yogyakarta) itu tengah menggarap patung pesanan dari Jakarta, ia menjadi tahu tentang proses pengecoran dan teknik pencetakan perunggu. 

Dari pertemuannya dengan Gardono itu yang kemudian memotivasinya untuk studi di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) Yogyakarta sesudah tamat SMA. Tahun pertama kuliah, ia memilih jurusan dekorasi. Tahun kedua, Yos Tri baru memasuki jurusan patung.

Ketika kuliah di STSRI, cakrawala wawasan Yos Tri tentang seni patung semakin terbentang luas. Wawasan itu didapat dari buku-buku yang dibacanya di perpustakaan. Melalui buku-buku itu, ia mengetahui karya-karya patung ciptaan Henri Moore, Leonardo Da Vinci, dan Michael Angelo yang sangat inspiratif. Melalui Edi Sunarso, Hari Joharudin, dan Budiani; ia mendapatkan pengetahauan tentang dasar-dasar seni patung.

Terutama melalui Budiani, Yos Tri bukan hanya mendapatkan pengetahuan tentang dasar-dasar seni patungdan arahan untuk memasuki seni patung modern. Dari Budiani, ia pula mendapatkan pengetahuan bahwa patung bisa dipandang dari sisi filosofi, artistik, karakter, ekspresi, komposisi, dan bahan yang digunakan semisal perunggu, batu, atau marmer. 

Bahan-bahan itu akan memberikan karakter-karakter tertentu dalam karya patung. Karenanya dalam berkarya, pematung harus membayangkan karya apa yang akan dicipta dan bahan apa yang akan digunakan. Dari sinilah, ia mendapatkan pengetahuan tentang dasar-dasar seni patung yang dapat dijadikan fondamen dalam memulai karirnya sebagai seniman patung.

Awal mula Yos Tri yang mulai memiliki kesadaran untuk membebaskan media dan aliran di dalam berkarya patung tersebut cenderung menerapkan unsur surealis figuratif. Namun ketika memasuki tahun 2009, ia cenderung memanfaatkan arca-arca yang terdapat di candi guna mengungkapkan gagasan kreatifnya melalui karya patung. Karya-karya patungnya yang inspirasinya bersumber dari arca-arca di candi, di antaranya: Inkarnasi (2007) dan Ibu Pertiwi (2009).

Patung karya Yos Tri (Dok. R. Toto Sugiharto)
Patung karya Yos Tri (Dok. R. Toto Sugiharto)
Melalui karya patung Ibu Pertiwi, Yos Tri ingin memvisualkan seorang ibu yang sedang berduka karena kondisi lingkungan yang rusak semisal pembabatan hutan atau eksplorasi bahan tambang tanpa memikirkan pelestarian alam. Sungguhpun demikian, sang ibu yang bertangan empat itu tidak cukup bersedih atas kondisi lingkungan yang sangat memrihatinkan itu. 

Namun, sang ibu yang bukan sekadar sebagai istri, ibu rumah tangga, dan ngopeni anak harus mampu mengatasi kondisi lingkungan tersebut. Patung tersebut pula mengandung pesan bahwa seorang ibu harus mampu memberikan nasihat kepada anak-anak publik agar tidak takut, tetap bersatu, dan selalu ingat kepada Tuhan.

Lain karya patung Ibu Pertiwi, lain pula karya patung garuda yang bertajuk Mulat Mobah Hesti Mosik Sang Salira Pati Kaga Mapan Yekti Nuswantara Tan Huwus Mahardika (2009). 

Patung yang diciptakan dengan menggunakan bahan kayu dan melalui teknik kolase itu melukiskan tentang keprihatian Yos Tri terdahap negara yang berlambangkan burung garuda dan berdasarkan Pancasila, namun masyarakatnya kurang memerhatikannya. Karenanya, patung tersebut dapat ditangkap sebagai harapannya agar masyarakat kembali menghormati lambang negara. Burung garuda yang melambangkan keperkasaan dan kecerdasan publik Indonesia.

Dari Proses Kreatif hingga Pengalaman Tak Terlupakan

Setiap kreator seni senantiasa memiliki proses kreatif yang berbeda. Sungguhpun memiliki fokus pada bidang garap seni yang sama, namun satu kreator dengan lainnya tetap tidak sama proses kreatifnya. Hal ini menunjukkan bahwa kreator sangat bersifat personal dalam proses penciptaan karya seni.

Yos Tri sedang berkaya patung Soekarno (Dok. R. Toto Sugiharto)
Yos Tri sedang berkaya patung Soekarno (Dok. R. Toto Sugiharto)
Sebagai seniman patung, Yos Tri memiliki proses kreatif yang memribadi, khas, dan terkadang unik. Dikatakan memribadi, khas, dan unik; karena proses kreatifnya dalam penciptaan karya patung tidak dimiliki atau tidak dilakukan oleh kreator lain.

Sebelum proses kreatif dimulai, Yos Tri harus menemukan obyek di sekitarnya yang bisa memberikan inspirasi atau ide serta imajinasi yang melintas di benak kepalanya. Tentu saja, obyek dan imajinasi tersebut berkelindan dengan aspek sejarah, sosial, dan politik.

Ketika obyek apa yang akan divisualkan ke dalam karya patung itu ditemukan, Yos Tri tidak bergegas mengeksekusinya. Terlebih dahulu, ia merenungkan obyek itu dalam waktu relatif panjang. Hal ini dikarenakan, bahwa karya patung merupakan suatu simbolisasi pembahasaan mengenai situasi kondisi tertentu. Sebagai misal, sewaktu akan menggarap patung Dipanegara, ia harus melakukan riset (meninjau situs), membaca buku, dan wawancara untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang tokoh yang divisualkan ke dalam karyanya.

Langkah awal yang harus dijalani, Yos Tri membaca buku Pahlawan Dipanegara Berdjuang (Bara Api Kemerdekaan nan Tak Kundjung Padam) karya Sagimun MD (Jakarta: Gunung Agung). Melalui buku itu, ia mendapatkan informasi tentang spirit perjuangan Dipanegara yang diikuti oleh tokoh-tokoh, di antaranya: Sentot Ali Basya, Kiai Maja, dan masih banyak yang lain.

Guna meyakinkan kebenaran informasi perjuangan Dipanegara yang diperoleh dari buku Pahlawan Dipanegara Berdjuang, Yos Tri melakukan wawancara langsung dengan RMP Sumandar, R. Sosrosudoro, dan J. Ch. R. Poedjasoedira, pakde-pakdenya yang tinggal di Magelang. Melalui ketiga pakdenya yang semula mendapatkan kisah perjuangan Dipanegara dari Raden Tumenggung Kertinegara eyangnya, ia mendapatkan banyak informasi yang sangat dibutuhkan.

Dalam mendapatkan karakterisasi Dipanegara, Yos Tri melakukan pengamatan wajah Dipanegara yang dicipta oleh pelukis tersohor Raden Saleh. Selanjutnya hasil pengamatan itu dieksplorasikannya hingga mencapai karakteristik Dipanegara dengan berdasarkan data-data, penafsiran, dan imajinasinya.

Berkaitan dengan karakterisasi, Yos Tri tetap menggunakan model, namun tidak meninggalkan imajinasi. Sebagai contoh, ketika menggarap patung untuk menomuen di persimpangan jalan raya Kota Melawi (Kalimantan Barat), ia memelajari profil orang Dayak serta perjuangan orang Dayak dan orang Melayu. 

Agar kedua belah pihak tidak saling mengklaim perjuangan itu, ia memadukan karakterisasi orang Dayak dan orang Melayu. Sehingga ketika orang Dayak yang menyaksikan, maka ia menganggap kalau patung itu merefleksikan spirit orang Dayak. Bila orang Melayu yang menyaksikan, maka ia akan mengira kalau patung itu berwajah Melayu.

Hal paling menarik saat patung yang usai digarap Yos Tri itu akan dipasang, terjadi suatu kericuhan. Munculnya kericuhan, karena saat pembongkaran patung lama yang akan digantikan oleh karyanya itu mengalami kerusakan sesudah ambruk di tanah.

Saat terjadi kericuhan yang hampir menimbulkan konflik horizontal antara orang-orang Dayak dan Melayu, Yos Tri berada di tengah mereka. Ia yang dikira oleh orang-orang Melayu sebagai penyebab hancurnya patung lama itu sebagai pembela orang-orang Dayak. Bupati yang merupakan orang Melayu itu kemudian memutuskan bahwa patung karya Yos Tri tidak jadi dipasang.

Menyikapi keputusan bupati, Yos Tri tidak berkenan. Agar patung karyanya dapat dipasang, ia menghubungi perwakilan orang-orang Dayak dan Melayu. Sesudah ia mampu mendamaikan kedua belah pihak, patung karyanya berhasil dipasang.

Selain pengalaman menarik di muka, Yos Tri pula memiliki pengalaman yang sangat menantang saat menggarap patung Rajawali untuk dipasang di Ketep, Magelang, Jawa Tengah. Burung Rajawali yang bersumber dari legenda kelahiran Gunung Bibi (Gunung Merapi) itu harus mengesankan terbang dari Ketep menunju puncak Gunung Merapi.

Ketika sedang berproses pemasangan patung Rajawali, Yos Tri dibantu oleh orang-orang yang tinggal di Ketep. Salah seorang pembantunya memberikan anak Elang yang baru saja diambil dari sarangnya. Olehnya, anak Elang yang semula akan dijual kepada orang dari Bandung itu dibawa pulang ke Yogya untuk dirawat dengan baik sebelum diserahkan kepada pelestari burung.

Sesampai di Yogya, anak Elang itu dikasih nama Baba atau Praba (burung yang bersinar). Ketika berumur 3,5 bulan, rentang sayap Baba sudah hampir 1 meter. Hubungan emosional antara Yos Tri dengan Baba sangat erat. Hingga kadang Bapa yang tidak mau tidur di kandangnya itu kemudian tidur di dada Yos Tri dengan sayap dibentangkan. Ini merupakan salah satu peristiwa luar biasa yang pernah dialaminya.

Namun sebelum Baba dewasa untuk diserahkan kepada pelestari burung, anak Elang itu menemui ajalnya karena terjangkit virus flu burung. Oleh Yos Tri, bangkai anak Elang itu dikuburkan di Ketep. Sampai sekarang, pengalaman itu tak pernah dilupakannya.

Lain pengalaman di Ketep, lain pula pengalaman di Lombok. Sewaktu berproses menggarap patung di Lombok, Yos Tri senantiasa melibatkan orang-orang Sasak. Dalam waktu senggang atau usai bekerja, ia terkadang bertandang ke rumah orang-orang yang membantunya untuk mendapatkan cerita dan berdialog. 

Dari dialog itu, ia mendapatkan informasi bahwa nenek moyang orang-orang Lombok adalah orang-orang Mataram. Karenanya, orang-orang Lombok sangat menghargai pada orang-orang Yogya yang datang ke wilayah mereka sebagai guru. Karena itulah, kehadirannya di Lombok mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat.

Di Lombok, Yos Tri menyaksikan alat transportasi cidomo yang mirip dengan dokar atau oplet. Sebagaimana andong di Yogya, cidomo ditarik kuda. Namun perbedaannya, kalau kuda yang menarik andong dirawat dan diperlakukan dengan baik oleh sang kusir, kalau kuda cidomo diperlakukan sangat kasar, dicambuk hingga berdarah-darah. Perbedaan perlakuan sais cidomo dan kusir andong terhadap kudanya ini kemudian diceritakannya kepada orang-orang Lombok. Mendengar cerita dari Yos Tri, mereka ingin datang ke Yogya.

Dari Pengaruh Karya hingga Respons Masyarakat

Profersi sebagai seniman patung, bagi Yos Tri, sebagai panggilan hidup. Karena sebagai panggilan hidup, ia senantiasa menyikapi profesi itu dengan total, disertai komitmen dan tanggung jawab. Sebab itu, ia terus berkarya tanpa terpengaruh dengan situasi serta kondisi ekonomi, sosial, dan politik.

Patung karya Yos Tri (Dok. R. Toto Sugiharto)
Patung karya Yos Tri (Dok. R. Toto Sugiharto)
Setiap karya patung yang diciptakan dengan berdasarkan totalitas, komitmen, dan tanggung jawab yang tinggi akan berpengaruh yakni dapat memberikan rasa bangga. Sebab itu, sesudah Yos Tri menyelesaikan dan men-display karya patungnya di ruang publik niscaya mendapatkan kebanggaan ganda yakni bangga dengan apa yang telah dicapai dan bangga karena masyarakat dapat menerima karyanya. 

Menurut Yos Tri, karya patung harus memiliki pengaruh kepada masyarakat. Karenanya, karya patung harus dapat mendidik dan menimbulkan semangat juang di kalangan masyarakat. Agar menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat, karya patung harus bercerita, memiliki keindahan estetis, berhubungan erat dengan sejarah, dsb. Pandangan tersebut selaras dengan kredonya: Karena seni menunjukkan peradaban suatu publik, maka seni patung yang diciptakan harus mampu membangkitkan semangat dan mencerdaskan kehidupan publik.

Karya patung yang akan memberikan pengaruh harus mampu menembus dimensi waktu. Sehingga karya tersebut senantiasa abadi dan mendapatkan apresiasi dari masa ke masa. Selain karya tersebut harus mengandung lambang-lambang.

Perihal respons publik terhadap karya patung, Yos Tri berpendapat, kebanyakan masyarakat menyukai karya-karya monumental. Sebagai bukti, sesudah karyanya yang ada di Melawi itu dipasang, banyak orang mangkal di sekitar patung itu. Bila pagi dan siang, orang-orang tua beserta anak-anaknya mengisi waktu luangnya di sana. Bila malam, muda-mudi berkumpul di sana. Suasana malam di sekitar patung itu semakin disemarakkan oleh banyak Pedagang Kaki Lima (PKL) dan lesehan kopi. Sehingga kehadiran karya patungnya berdampak pada kehidupan perekonomian masyarakat.

Sementera untuk patung-patung karya pribadi, Yos Tri mengatakan, cukup mendapatkan apresiasi publik. Hal ini dibuktikan bahwa setiap event pameran seni patung selalu dihadiri oleh masyarakat, terutama anak-anak muda. Sungguhpun demikian, seorang seniman patung tidak boleh larut di dalamnya. Pengertian lain, seniman patung harus terus berkarya dalam diam (silent but move). Tidak perlu banyak berkoar-korar, namun sepi karya.

Yos Tri menambahkan, agar seni patung terus mendapatkan apresiasi dari masyarakat, maka seorang seniman patung harus bisa mengatasi berbagai keterbatasan yang dihadapi di dalam proses berkarya sehingga akan menghasilkan karya yang inovatif. Seorang seniman patung harus terus-menerus mengeksplorasi ide-ide yang akan dituangkan ke dalam bentuk karya.

Pandangan Hidup

Sebagai seniman patung yang memiliki jam terbang tinggi, Yos Tri telah banyak makan asam-garam dan menyerap manis-pahitnya kehidupan. Karenanya sebagai kreator, ia memiliki pandangan hidup yang dapat memberikan inspirasi bagi masyarakat.

Yos Tri memiliki pandangan bahwa publik Indonesia adalah publik pejuang. Betapa naif bila orang berpandangan bahwa orang Indonesia (terutama, orang Jawa) merupakan pemalas. Berangkat dari pandangannya ini, ia dalam menciptakan karya-karya patungnya senantiasa berpijak pada spirit perjuangan. Bukan sebatas perjuangan agar karya-karya patungnya dapat membangkitkan semangat dan kecerdasan publik, namun pula perjuangan kreatif yang terus-menerus dijaga geloranya selagi hayat masih dikandung badan.

Spirit perjuangan yang telah sejiwa dengan Yos Tri semula dipompakan oleh nenek moyang, kakek, dan pamannya. Kakeknya Kangjeng Raden Tumenggung Kerti Negara adalah pejuang yang membantu perjuangan Dipanegara. STM Sudiroatmodjo ayahnya beserta saudara-saudaranya turut bergerilya. Pamannya yang bernama Moesliman gugur di tengah medan perjuangan ketika meletus pertempuran di Ambarawa.

Terutama dari Sudiroatmodjo, Yos Tri dapat belajar mengenai perjuangan hidup yang sebenarnya. Perjuangan hidup yang bukan sekadar diekspresikan melalui gagasan-gagasan kreatifnya ke dalam karya seni (seni patung), akan tetapi melalui kerja konkret sebagaimana kaum jihad yakni memiliki kewajiban di dalam mencukupi kebutuhan keluarga di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit.

Berpedoman pada pandangannya ini, Yos Tri tidak pernah mengenal kata "putus asa" di dalam menekuni profesinya sebagai seniman patung. Ia terus berkarya, sungguhpun disibukkan dengan tanggungjawabnya sebagai pimpinan keluarga dan terombang-ambingkan oleh kondisi ekonomi, politik, dan sosial yang tidak menentu. "Biar serigala-serigala terus melolong dan menghadang langkah, seorang kafilah seni sejati terus berjuang menghadapinya dan melecut kuda perjuangannya. Menuju kaki cakrawala senja."

Beragam Pandangan

Selain pandangan hidup, Yos Tri pula memiliki pandangan lain mengenai seniman patung dan kehidupan seni patung di Yogyakarta. Ia pula memiliki pandangan mengenai seni patung yang berkaitan dengan pasar, lembaga pendidikan, dan kewajiban pemerintah.

Perihal kreator, Yos Tri berpandat bahwa seniman patung masih didominasi oleh kaum Adam ketimbang kaum Hawa. Hal ini dikarenakan proses dan kerja membuat patung lebih menuntut fisik yang pada umumnya dapat dipenuhi atau dilakukan oleh pria ketimbang wanita.

Dalam hal kehidupan seni patung di Yogyakarta, menurut Yos Tri, cukup bergairah. Interaksi antar seniman juga cukup bagus. Demikian pula, kehidupan seni patung di Indonesia cukup menggembirakan. Banyak pematung di Yogyakarta dan Indonesia cukup dikenal di tingkat dunia.

Pandangan yang berkaitan dengan pasar, Yos Tri menegaskan bahwa nasib karya seni patung lebih bebas dari penilaian pragmatis laku atau tidak di pasar. Karena, seni patung tetap dibutuhkan masyarakat dalam situasi dan kondisi apapun.

Berkaitan dengan kewajiban pemerintah terhadap perkembangan seni patung di Indonesia, Yos Tri menyatakan, belum sepenuhnya dilaksanakan. Pemerintah pula belum cukup memberi prioritas lebih kepada hadirnya karya seni patung di dalam ruang publik. 

Berangkat dari pernyataan tersebut, ia berharap agar para pejabat pemerintah berupaya untuk belajar mengapresiasi seni patung yang mengandung nilai-nilai idealisme dalam kehidupan berpublik dan bernegara. Dengan demikian, perlunya kehadiran karya seni patung di perkotaan, khususnya di kota-kota besar, di tengah pembangunan fisik yang sangat masif itu.

Guna menunjang perkembangan seni patung, Yos Tri berharap agar pemerintah harus turut aktif dalam menunjang kehidupan dan keberlangsungan sanggar seni patung dengan memberikan fasilitas. Mengingat fasilitas itulah yang menjadi kendala serius terhadap keberlangsungan sanggar seni patung.

Pandangan terakhir berkaitan dengan pendidikan seni rupa (patung). Menurut Yos Tri, pendidikan seni rupa patung perlu adanya formulasi seimbang antara teori dan praktik. Selain diperlukan penyediaan spesialisasi atau pembagian ke jurusan khusus bagi anak didik yang berorientasi menjadi seniman patung, teoritisi, atau kritikus. Sehingga, anak didik kelak menemukan spesialisasinya.

***

Yos Tri, seorang seniman patung yang lahir dari seorang pejuang dan pula pernah tinggal di lingkungan keluarga pejuang. Sehingga karya-karya patungnya senantiasa merefleksikan spirit perjuangan hidupnya di dalam membangkitkan semangat dan perjuangan publik. (Sri Wintala Achmad, R. Toto Sugiharto).

Sumber: Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #16, Taman Budaya Yogyakarta, 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun