Berkaitan dengan karakterisasi, Yos Tri tetap menggunakan model, namun tidak meninggalkan imajinasi. Sebagai contoh, ketika menggarap patung untuk menomuen di persimpangan jalan raya Kota Melawi (Kalimantan Barat), ia memelajari profil orang Dayak serta perjuangan orang Dayak dan orang Melayu.Â
Agar kedua belah pihak tidak saling mengklaim perjuangan itu, ia memadukan karakterisasi orang Dayak dan orang Melayu. Sehingga ketika orang Dayak yang menyaksikan, maka ia menganggap kalau patung itu merefleksikan spirit orang Dayak. Bila orang Melayu yang menyaksikan, maka ia akan mengira kalau patung itu berwajah Melayu.
Hal paling menarik saat patung yang usai digarap Yos Tri itu akan dipasang, terjadi suatu kericuhan. Munculnya kericuhan, karena saat pembongkaran patung lama yang akan digantikan oleh karyanya itu mengalami kerusakan sesudah ambruk di tanah.
Saat terjadi kericuhan yang hampir menimbulkan konflik horizontal antara orang-orang Dayak dan Melayu, Yos Tri berada di tengah mereka. Ia yang dikira oleh orang-orang Melayu sebagai penyebab hancurnya patung lama itu sebagai pembela orang-orang Dayak. Bupati yang merupakan orang Melayu itu kemudian memutuskan bahwa patung karya Yos Tri tidak jadi dipasang.
Menyikapi keputusan bupati, Yos Tri tidak berkenan. Agar patung karyanya dapat dipasang, ia menghubungi perwakilan orang-orang Dayak dan Melayu. Sesudah ia mampu mendamaikan kedua belah pihak, patung karyanya berhasil dipasang.
Selain pengalaman menarik di muka, Yos Tri pula memiliki pengalaman yang sangat menantang saat menggarap patung Rajawali untuk dipasang di Ketep, Magelang, Jawa Tengah. Burung Rajawali yang bersumber dari legenda kelahiran Gunung Bibi (Gunung Merapi) itu harus mengesankan terbang dari Ketep menunju puncak Gunung Merapi.
Ketika sedang berproses pemasangan patung Rajawali, Yos Tri dibantu oleh orang-orang yang tinggal di Ketep. Salah seorang pembantunya memberikan anak Elang yang baru saja diambil dari sarangnya. Olehnya, anak Elang yang semula akan dijual kepada orang dari Bandung itu dibawa pulang ke Yogya untuk dirawat dengan baik sebelum diserahkan kepada pelestari burung.
Sesampai di Yogya, anak Elang itu dikasih nama Baba atau Praba (burung yang bersinar). Ketika berumur 3,5 bulan, rentang sayap Baba sudah hampir 1 meter. Hubungan emosional antara Yos Tri dengan Baba sangat erat. Hingga kadang Bapa yang tidak mau tidur di kandangnya itu kemudian tidur di dada Yos Tri dengan sayap dibentangkan. Ini merupakan salah satu peristiwa luar biasa yang pernah dialaminya.
Namun sebelum Baba dewasa untuk diserahkan kepada pelestari burung, anak Elang itu menemui ajalnya karena terjangkit virus flu burung. Oleh Yos Tri, bangkai anak Elang itu dikuburkan di Ketep. Sampai sekarang, pengalaman itu tak pernah dilupakannya.
Lain pengalaman di Ketep, lain pula pengalaman di Lombok. Sewaktu berproses menggarap patung di Lombok, Yos Tri senantiasa melibatkan orang-orang Sasak. Dalam waktu senggang atau usai bekerja, ia terkadang bertandang ke rumah orang-orang yang membantunya untuk mendapatkan cerita dan berdialog.Â
Dari dialog itu, ia mendapatkan informasi bahwa nenek moyang orang-orang Lombok adalah orang-orang Mataram. Karenanya, orang-orang Lombok sangat menghargai pada orang-orang Yogya yang datang ke wilayah mereka sebagai guru. Karena itulah, kehadirannya di Lombok mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat.