Semasa pemerintahan Dyah Suprabhawa (1466-1474), Majapahit kembali dilanda kemelut politik. Dyah Suprabhawa terpaksa meninggalkan tahta kekuasaannya untuk melarikan diri ke Dayo atau Daha sesudah tidak berdaya menghadapi kudeta yang dilakukan Bhre Kertabhumi. Sesudah Dyah Suprabhawa meninggalkan istana, Bhre Kertabhumi naik tahta sebagai Raja Majapahit dengan ibukota di Majakerta (1474-1478).
Berakhirnya masa pemerintahan Bhre Kertabhumi karena pemberontakan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (putra Dyah Suprabhawa), berakhir pula Riwayat Majapahit dengan ibukota Majakerta. Oleh Dyah Ranawijaya yang kemudian menjadi raja, pusat pemerintahan Majapahit dipindahkan dari Majakerta ke Daha.
Eksistensi Majapahit sebagai kerajaan yang pernah berjaya sebagai negeri gemilang di nusantara pun berakhir. Manakala kekuasaan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya dapat dihancurkan oleh pasukan Kesultanan Demak semasa pemerintahan Raden Patah (1478-1518). Semasa Daha yang berstatus kadipaten itu mendapatkan dukungan Portugis untuk melakukan makar terhadap Demak, Sultan Trenggana berhasil membasminya pada tahun 1527.
Pada tahun 1546, Sultan Trenggana tewas dibunuh oleh putra Adipati Surabaya yang masih kecil. Sebagai pengganti sultan Demak adalah Raden Mukmin (Sunan Prawata).
Sebagaimana Sultan Trenggana, Sunan Prawata pun turun tahta karena dibunuh oleh Rangkut. Perjineman  kepercayaan Adipati Arya Penangsang (Jipang) yang membalas dendam karena Pangeran Kikin ayahnya tewas dibunuh Surayata (suruhan Sunan Prawata) saat timbul perebutan kekuasaan Demak paska pemerintahan Patiunus (1521).
Terbunuhnya Sunan Prawata menimbulkan konflik antara Adipati Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggana) dan Arya Penangsang yang sama-sama ingin menjadi raja di tanah Jawa. Paska keberhasilan Pemanahan, Penjawi, Juru Mrentani, dan Danang Sutawijaya atas sayembara "Penggal Kepala Arya Penangsang" dari Ratu Kalinyamat, Adipati Hadiwijaya yang mendapat restu dari Sunan Giri itu menjadi raja di Pajang (1549-1582).
Ketika Kesultanan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya relatif aman. Hanya saja Sultan Hadiwijaya berhadapan dengan sikap politis Danang Sutawijaya (Panembahan Senapati) yang tidak mau datang ke Pajang untuk menyerahkan upeti sebagai tanda takluk bawahan pada raja.
Sikap politis Danang Sutawijaya yang ingin menjadikan Mataram sebagai negeri merdeka semakin nyata ketika mengirim para mantri pajak untuk merebut Tumenggung Mayang beserta istrinya yang akan dibuang ke Semaran oleh Sultan Hadiwijaya. Hukum buang tersebut dilakukan karena Tumenggung Mayang merestui hubungan cinta Sekar Kedaton (putri Sultan Hadiwijaya) dengan Pabelan.
Karena pembelotan Danang Sutawijaya semakin terbukti, Sultan Hadiwijaya beserta pasukan Pajang menyerang Mataram. Sesampai di Prambanan, pasukan Pajang itu dihadang oleh paskan Mataram hingga terjadilah perang pada tahun 1582.
Dalam perang itu, pasukan Pajang mengalami kekalahan. Sepulang dari berperang, Sultan Hadiwijaya gering dan tidak lama kemudian mangkat. Paska kemangkatan Sultan Hadiwijaya, Pajang dikuasai oleh Arya Pangiri (adipati Demak) yang merupakan menantu Sultan Hadiwijaya dan putra Sunan Prawata pada tahun 1583-1586.
Karena semasa pemerintahannya, Arya Pangiri lebih mengutamakan kepentingan orang-orang Demak ketimbang orang-orang Pajang, Pangeran Banawa (putra Sultan Hadiwijaya) yang mendapat dukungan Panembahan Senapati dari Mataram itu melakukan makar.